Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Puisi?

Diperbarui: 9 Maret 2025   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Mengapa Puisi?
AR. Zanky

Banyak alasan kenapa seseorang menulis puisi. Definisi dan anggapan tentang puisi itu sendiri tidak kunjung tuntas hingga hari ini. Ukuran dan kriteria tentang sesuatu yang puitis tidak akan pernah ada habisnya diperdebatkan bahkan dicari-cari.

Namun bagi saya, dunia ini adalah puitis sepenuhnya. Dunia ini mengandung makna tanpa kecuali. Hidup itu adalah perumpamaan. Alam adalah kiasan. Kompleksitas kenyataan yang berlapis-lapis dan saling berjalin berkelindan ini, adalah tamsil dari sebuah estetika hakikat yang sungguh puitis. Maka keindahan adalah dasar dan asas dari segala keberadaan. Apa yang ada ini mengandung estetikanya sendiri. Formula keindahannya sendiri.

Estetika puisi itu tidak harus berupa sajak, pantun, gurindam, syair, matsnawi, rubaiyat, seloka, kakawin atau pupuh. Sebuah situasi yang romantis, alam yang tenang, adegan hidup yang mengharukan, kesunyian yang dalam, rasa sepi yang mencekam, bahkan hujan dan senja tentram juga sangat potensial bernilai puitis. Dan cenderung melahirkan puisi. Puisi formal seperti yang kita kenal sekarang bersumber dari sesuatu yang puitis. Estetika gejala yang menyentuh rasa. Puisi selalu berawal dari sebuah rasa tentang keindahan. Orang tersentuh dan terpantik rasa keindahannya lalu menulis puisi.

Anda tentu pernah mengalami rasa keharuan yang dalam, tercekam misteri malam, dirasuki suasana senja yang asing, terpapar rasa sunyi berkepanjangan, terbenam dalam renungan tentang kematian, ditindih rasa sedih berlapis-lapis, atau terpesona oleh penampakan hasrat cinta yang menggelora. Semua rasa itu intens, padat, tapi juga seketika. Ada saatnya kita disergap kilasan kesadaran tertentu yang amat sulit dibendung. Orang yang sadar keadaan, akan segera mengambil pena dan menuliskannya. Biasanya dalam bentuk puisi. Mengapa?

Karena kita tidak banyak waktu untuk memaparkannya secara panjang lebar. Sering mood-nya hanya berlangsung dalam hitungan menit, bahkan detik. Maka pengalaman batin tersebut harus segera dirangkum dalam bahasa yang singkat dan padat. Bahasa simbol yang elegan, elastis, juga terbuka. Jenis formula yang paling mungkin adalah bahasa yang puitis. Bahasa yang kira-kira setara dengan kualitas pengalaman batin yang kita rasa.

Penulis puisi tersebut ada yang disebut penyair ada yang tidak. Ada yang profesional ada yang instan dan aksidental. Ada yang serius ada pula yang hanya menurutkan dorongan hasrat. Maka menulis puisi, kebanyakannya memang demi meluluskan kata hati. Menyalurkan hasrat perasaan. Juga untuk melegakan hati. Maka berpuisi sah dan boleh berlaku bagi siapa saja.

Adapun puisi yang ditulis para maestro, tentu punya keunikan dan nilai yang tersendiri. Kahlil Gibran bisa merangkum semesta hanya dalam sebuah aforisma: Mereka berkata bahwa manusia hanyalah sebutir pasir kecil di tepi pantai dunia. Aku berkata; dunia hanyalah sebutir kerikil di tepi pantai hatiku. Atau Sutardji yang menyimpulkan seluruh ragam sikap orang dalam satu kata yang terdiri dari tiga huruf dalam puisi berjudul KALIAN. Isinya hanya Pun. Menulis puisi itu satu hal. Menikmati puisi itu satu hal yang lain lagi.

Menulis puisi adalah sebuah upaya untuk merubah momen menjadi monumen. Upaya untuk melestarikan saat-saat intens. Ikhliar untuk memberi penanda, kata kunci yang bisa mengantarkan kita kembali pada momaen-momen paling berkesan dan dalam. Ada yang berhasil. Banyak juga yang gagal. Tapi itu tidak jadi soal. Karena tidak semua orang yang pernah menulis puisi mesti harus jadi penyair. Banyak puisi yang dirancang untuk dibaca orang lain. Tidak sedikit pula yang dikarang hanya untuk kepuasaan batin sendiri. Keduanya sah dilakukan.

Kalau kita merasa sama sekali tidak punya bakat untuk berpuisi, kita bisa menikmati ribuan puisi para penyair punya kreasi. Menghayati sebuah puisi yang bagus akan mengantarkan kita pada sebuah gagasan dan suasana batin yang menggetarkan. Menghadapi sebuah puisi yang indah dan dalam akan sangat membantu menggugah kebangkitan aneka potensi rohani yang terpendam; jiwa jadi tercerahkan, rasa menjadi tajam, intuisi makin peka dan presisi, akal budi mengalami katarsis, hidup jadi terasa lebih dapat dimaklumi dan bermakna.

Puisi itu adalah hikmah hati dan rasa yang memang tidak bisa lain kecuali diungkapkan dengan cara demikian. Cara khusus yang ajaibnya, tanpa harus diajar-ajari, orang sudah bisa mengira-ngiranya sendiri. Walau banyak sudah buku ditulis tentang teori puisi, tapi itu tetap tidak mencukupi. Masih banyak aspek yang tak tercakup bahkan tak terjangkau hingga kini. Teori memang perlu. Tapi kita tidak mesti harus merujuk padanya melulu. Berpegangan hanya pada teori hanya akan membuat imajinasi dan kreatifitas kita jadi kaku dan beku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline