80 Tahun RI seremoni boleh basah; kebijakan jangan kering
Di laut kita jaya---di darat siapa yang berjaga?
Sherly mengibarkan Merah Putih di kedalaman Sulamadaha. Keren. Segar. Viral. Kita bangga, wajar. Tapi setelah drone dilipat dan caption diposting, muncul pertanyaan yang tak ikut menyelam: siapa yang pasang pagar---bukan kawat besi, melainkan pagar aturan---ketika kamera padam?
Banten jadi cermin: ketika bambu lebih berani dari hukum.
Ingat pagar laut? Bambu-bambu berjejer 30,16 km di pesisir Banten, menyapu 16 desa di 6 kecamatan. Nelayan dipaksa memutar, solar menjerit, ekosistem ikut perih. Negara turun tangan, katanya: ada investigasi, ada pembatalan sebagian sertifikat. Bagus. Tapi warga butuh yang lebih sederhana dari jumpa pers: daftar lengkap yang dibatalkan, nama pemegangnya, peta bidangnya, dan tanggal pemulihan aksesnya. Singkatnya, transparansi---bukan tali pita.
Bendera ke dasar, pulau ke pasar?
Di satu layar, bendera berkibar di laut. Di layar lain, beberapa pulau Indonesia pernah terpampang "for sale/for rent". Pemerintah sudah menegaskan: pulau tak boleh dijual; yang ada hanya izin pemanfaatan yang ketat. Masalahnya, di lapangan "izin kelola" sering berubah rasa jadi "hak milik". Hasilnya? 254 pulau kecil tercatat "diprivatisasi" untuk pariwisata, budidaya, konservasi berpagar, bahkan tambang. Kita menyebutnya "ekonomi biru"; jangan-jangan yang tumbuh kosmetik biru---benderanya di laut, ruang publiknya dipagari.
Legalitas yang kebablasan HGB kok nyebur ke air.
Akal sehat dan hukum sebenarnya sepakat: laut bukan objek HGB/SHM. Kalau ada alas hak yang menyeberang ke perairan, pembatalan itu konsekuensi, bukan negosiasi. Syarat minimalnya jelas: buka data, pulihkan akses, dan umumkan tenggat. Kita tak butuh pidato yang menggelegar, kita butuh dokumen yang jelas dan bisa diaudit.
Upacara basah, sertifikat kering
Seremoni menahan napas membuktikan kita kuat. Tetapi kuat itu bukan hanya menahan napas---juga menahan nafsu: nafsu memagari pantai atas nama "revitalisasi"; nafsu mengobral izin atas nama "investasi"; nafsu menutup data atas nama "ketertiban". Di TPI, harga ikan sering jatuh bukan karena laut miskin, melainkan karena tata kelola miskin. Bendera boleh ke dasar, kebijakan jangan tetap di permukaan.
Dari seremoni ke kerja sehari-hari.
Kedaulatan maritim tidak selalu dramatis. Ia bentuknya membosankan tapi penting: patroli hadir sebelum jaring perusak datang, TPI transparan, akses pantai tetap publik, dan izin menyimpang dibatalkan tanpa harus viral. Itu semua tak Instagramable---tetapi sangat bisa dimakan, dibawa pulang, dan mengisi dompet nelayan.
Angka, bukan anekdot.
Besok pagi, bukan besok lusa: umumkan daftar izin yang dibekukan/dicabut, peta bidang yang sempat "menyeberang" ke laut, progres pembongkaran pagar Banten berikut tanggalnya, dan laporan triwulanan stok ikan--pelanggaran--pemulihan akses. Kalau headline sudah kita kuasai, saatnya menguasai headline act.
Nilai kemerdekaan, merah yang berani, putih yang menyejahterakan.
Mengibarkan Merah Putih---bahkan di bawah laut---membuktikan kita punya kekuatan simbolik. Tapi putih bukan tanda menyerah; ia janji kesucian niat. Janji itu tunai ketika keberanian yang sama dipakai untuk menyejahterakan rakyat: nelayan pulang dengan kantong lebih penuh, pantai tetap milik umum, harga adil di pelelangan, dan izin nyeleneh runtuh oleh data, bukan oleh kehebohan. Delapan puluh tahun merdeka bukan hanya soal sanggup mengangkat bendera, melainkan sanggup mengangkat martabat---dari bibir ombak sampai meja makan keluarga. Saat kekuatan simbol bertemu kekuatan menyejahterakan, barulah Merah Putih tidak sekadar warna di layar, tetapi rasa aman, adil, dan layak yang betul-betul terasa.
Opini ini diolah dari berbagai sumber :HalmaheraPost (17 Agustus 2025),CNN Indonesia (8 Januari 2025),Tempo (11 Januari 2025)Ombudsman RI (9 Januari 2025)Tempo (20 Januari 2025)Indonesia.go.id (25 Januari 2025)Tempo (24 Februari 2025)Tempo Data(10 Juli 2025)KIARA (26 Juni 2025)Mongabay (3 Juli 2025)ANTARA (23 Juni 2025)Katadata (26 Juni 2025)
KKP -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (21 Juli 2025)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI