Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid Azar

TERVERIFIKASI

Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Gencatan Senjata Politik

Diperbarui: 26 Juni 2025   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerusakan Akibat Perang, Belum lagi nyawa Manusia ( Foto Kompas.Com/AFP/JACK GUEZ)

Ketika Rudal Bicara, Kata Tak Lagi Bermakna

Suara paling lantang di Timur Tengah bulan ini bukanlah pidato presiden atau khutbah ulama, melainkan dentuman rudal yang bersahutan antara Iran dan Israel. Selama dua belas hari---13 hingga 24 Juni 2025---langit dipenuhi jejak api, tanah terguncang, dan perdagangan minyak terhenti sejenak; kerugian ekonomi diperkirakan menembus triliunan dolar AS. Namun, gemuruh itu tiba-tiba membisu ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan "Complete and Total CEASEFIRE". Sehari kemudian, Ben Gurion Airport kembali beroperasi penuh, dan Iran mulai membuka sebagian wilayah udaranya di timur---sunyi menggantikan sirine cbsnews.comtimesofisrael.comhindustantimes.com.

Keputusan untuk berhenti menembak bukan lahir dari cinta, melainkan dari logika matematis perang: setiap roket balasan memperkecil peluang menang, setiap detik tanpa letusan memperpanjang napas ekonomi. Diam, dalam konteks ini, jauh lebih nyaring daripada meriam.

"Kadang yang paling nyaring bukan suara rudal, tetapi diam yang disepakati bersama."

Indonesia, Pemilu Usai, Perang Narasi Berkepanjangan

Mari menoleh ke halaman sendiri. Pemilu 2024 sudah berlalu, namun republik ini masih gaduh seakan TPS belum ditutup. Bukannya merayakan pesta demokrasi dengan syukur, sebagian elite melanjutkan kampanye dalam bentuk lain---gugatan di Mahkamah Konstitusi, adu hashtag, hingga saling lapor di kepolisian.

Ironisnya, medan perangnya justru ruang digital; pelurunya potongan video, misalnya, atau meme yang dipoles buzzer. Korbannya bukan kandidat---mereka siap dengan "tameng" PR---melainkan rakyat yang menanti pekerjaan. Per Maret 2024, tingkat pengangguran usia 20--24 tahun masih 15,3 %---hampir tiga kali lipat rata-rata nasional bps.go.id. Harga beras naik, pupuk langka, tapi talk-show politik tetap "tayang langsung" setiap malam di layar kaca.

Kita seolah negara yang kelebihan politisi dan kekurangan teknisi: terlalu banyak orang pandai bertengkar, terlalu sedikit yang paham cara memperbaiki mesin ekonomi.

Mengapa Kita Butuh Gencatan Senjata Politik

Demokrasi sehat memang mensyaratkan oposisi; yang tidak sehat adalah oposisi permanen tanpa agenda konstruktif. Gencatan senjata politik---bukan sekadar rangkulan elok di atas panggung---berarti menunda ego, menahan tangan sebelum mencuit, menimbang dampak sebelum bicara.

Ini bukan seruan "semua harus setuju", melainkan ajakan mengganti mode: dari "kampanye" ke "kerja". Sesudah pemilu, narasi publik seharusnya beralih dari "siapa dapat kursi" ke "siapa dapat solusi". Di titik inilah politisi Indonesia bisa belajar dari Iran--Israel: dua musuh bebuyutan tahu kapan harus berhenti; masa kita, satu bangsa, justru terus baku hantam?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline