Hari Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi lebih dari sekadar seremoni tahunan. Ia harus menjadi momen reflektif dan korektif. Di tengah langit yang penuh jargon, kita patut bertanya: bangkit untuk siapa, oleh siapa, dan dengan cara apa?
Di antara gegap gempita itu, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) muncul sebagai satu dari sedikit entitas negara yang benar-benar menjalankan makna "bangkit" secara konkret. Bukan sekadar gimmick. BRI telah menyalurkan lebih dari Rp1.126 triliun untuk UMKM, menghidupkan jaringan AgenBRILink di lebih dari 67 ribu desa, dan mendorong digitalisasi lewat BRImo. Ini adalah langkah nyata yang menggerakkan ekonomi rakyat dari bawah.
Namun, satu pertanyaan menggelitik muncul: Mengapa hanya BRI yang tampak bekerja keras mewujudkan kebangkitan? Di mana entitas negara lainnya?
Kartel Online Musuh Senyap Ekonomi Rakyat
Sementara BRI bekerja keras menyentuh akar rumput ekonomi, kartel perdagangan online justru tumbuh liar. Mereka hadir dalam wujud e-commerce raksasa yang memanjakan pengguna dengan ongkir nol---tapi menyingkirkan UMKM, menekan kurir lokal, dan membunuh pelan-pelan ekosistem distribusi berbasis rakyat.
Dampaknya? Kurir mandiri kalah bersaing. UMKM yang tidak masuk ekosistem platform besar terpaksa menyusut, bahkan tutup. Ini bukan digitalisasi inklusif---ini kolonialisasi digital berkedok efisiensi.
Jika kebangkitan ekonomi memang untuk rakyat, lawan dulu kartel-kartel ini. Kembalikan jalur distribusi ke pelaku ekonomi lokal. Buka ruang bagi koperasi desa, jaringan kurir kecil, dan UMKM agar bisa tumbuh tanpa tekanan dari dominasi pemain besar.
Derita Ojol, Supremasi Aplikator?
Di tengah kebangkitan ekonomi yang didengungkan, ada satu kelompok rakyat yang justru semakin tercecer dari keadilan ekonomi: pengemudi ojek online. Pada 20 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, ribuan ojol menggelar aksi demonstrasi serentak di berbagai kota, termasuk Jakarta dan Surabaya.
Apa yang mereka tuntut? Bukan revolusi. Hanya hal mendasar:
Potongan aplikasi diturunkan jadi 10%.