Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid Azar

TERVERIFIKASI

Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Lidah Bermahkota, Ketika Raja Kata Tergelincir Berulang Kali

Diperbarui: 9 Mei 2025   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahmad Dhani dan Cak Nun, Ketika kata menjadi berkmana (Foto : tribunnesw.com).

Ahmad Dhani. Siapa yang tak kenal? Dulu dia raja panggung. Gitar di tangan, nada menggema, dan lirik yang tajam bak pedang menebas hati. Dari konser besar hingga panggung kecil, Dhani selalu punya pesona. Bukan cuma karena musiknya, tapi juga kata-katanya yang tanpa tedeng aling-aling.

Namun, waktu bergulir. Sang raja panggung itu kini menyandang mahkota baru sebagai anggota DPR. Dari panggung musik, ia melompat ke panggung politik. Bukan lagi soal nada dan melodi, tapi soal kata dan tanggung jawab. Mahkota itu bukan sekadar simbol kebesaran, tapi amanah yang berat. Sayangnya, ada satu hal yang masih belum sepenuhnya ia kuasai: menjaga lidah.

Kalau dulu mulutnya mengeluarkan nada yang indah dari mikrofon, sekarang kadang mengeluarkan nada sumbang di ruang sidang. Dari musisi jadi politisi, perubahan jalur ini mungkin membuat lidahnya agak bingung menyesuaikan diri. Di konser, kata boleh lantang, bebas, asal crowd senang. Tapi di ruang dewan? Beda cerita. Kata harus ditimbang, bukan sembarang keluar.

Cak Nun: Raja Kata yang Tak Pernah Tergelincir

Kalau Dhani adalah raja panggung yang sering terpeleset lidah, maka Cak Nun adalah raja kata sejati yang lidahnya selalu terjaga. Dalam setiap pertemuan Maiyah, ribuan kata meluncur dari mulut Cak Nun. Tak ada satu pun yang menyakiti. Kata-katanya mungkin keras, tapi tetap santun, tetap membawa rasa hormat.

Cak Nun tidak sekadar berbicara, tapi menjaga agar kata-kata tidak melukai. Ia tahu bahwa satu kata yang salah bisa meninggalkan luka mendalam. Cak Nun tidak asal bicara, karena baginya kata adalah doa. Jangan sampai ucapan justru merusak hubungan, apalagi menghancurkan kehormatan.

Dhani pernah mengatakan bahwa sejak Gus Dur wafat, sudah sepatutnya Nahdliyin "berimam" pada Cak Nun. Sosok Cak Nun memang menginspirasi, tapi ironisnya, Dhani sendiri tak mampu meneladani sang guru. Jika Cak Nun ibarat seorang maestro yang memetik gitar dengan penuh perasaan, Dhani justru seperti gitaris yang nadanya selalu sumbang.

Kebiasaan atau Khilaf?

Sekali dua kali orang masih bisa memaklumi, tapi kalau berulang kali, apakah benar ini hanya slip of the tongue? Lidah yang terus tergelincir bukan lagi soal teknik bicara, tapi soal kebiasaan yang belum berubah. Kalau sudah ada vonis berkali-kali, bukan lagi soal kelalaian, tapi cerminan dari pola pikir yang belum matang.

Cak Nun mengajarkan bahwa berbicara itu bukan soal menang atau kalah, tapi soal menjaga marwah. Kata-kata yang tajam bisa menusuk hati, dan lidah yang tidak terjaga bisa menjatuhkan mahkota yang seharusnya dijaga.

Berbicara dengan Hati, Bukan Sekadar Berapi-api

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline