Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muntiqom Ms.

Wirausaha / Aktivis Hukum / Akademisi

Dari Ruang Dagang ke Parlemen, kemana peran para Intelektual?

Diperbarui: 17 Juli 2025   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kobiscamp.id


Di tengah hingar-bingar pesta demokrasi yang kian menyerupai ajang perebutan kekuasaan, satu fenomena yang mencolok tak bisa diabaikan: dominasi para pengusaha dalam dunia politik. Dari ruang dagang mereka melangkah mulus ke ruang parlemen, membawa serta kepentingan bisnis dan jaringan kapital. Sementara itu, kaum intelektual yang seharusnya menjadi pengarah moral dan pemikir kritis bangsa, tampak kian terpinggirkan. Pertanyaannya, ke mana peran mereka?Politik sebagai Alat Kuasa, Bukan Ruang Gagasan

Di masa idealnya, politik adalah ruang adu ide, tempat para pemikir menawarkan arah bagi negeri. Namun kini, realitas politik Indonesia berubah menjadi panggung pragmatisme. Kursi kekuasaan bukan lagi dimenangkan oleh kekuatan gagasan, tetapi oleh kekuatan logistik dan jaringan ekonomi. Akibatnya, para pemodal yang sebelumnya berkutat dalam dunia bisnis kini mendominasi daftar calon legislatif dan eksekutif.

Mengapa ini menjadi masalah? Karena logika bisnis berbeda dengan logika pelayanan publik. Dalam bisnis, untung-rugi adalah ukuran utama. Sementara dalam pemerintahan, keadilan, keberpihakan pada rakyat kecil, dan keberlanjutan seharusnya menjadi dasar. Ketika politisi lebih terlatih untuk memaksimalkan keuntungan ketimbang menyusun kebijakan yang adil, rakyatlah yang akan membayar harga termahalnya.

Akademisi di Persimpangan

Sementara pengusaha semakin aktif dalam politik, para akademisi yang dulu menjadi pilar utama dalam pembentukan kebijakan publik justru semakin jarang terlihat. Padahal, sejarah bangsa ini mencatat, banyak tokoh pendiri negeri adalah kaum intelektual: Soekarno, Hatta, Natsir, Tan Malaka, semua adalah pemikir besar yang berani turun ke gelanggang politik demi cita-cita besar bangsa.

Kini, banyak akademisi memilih berada di menara gading. Mereka terjebak dalam rutinitas kampus, riset, dan birokrasi akademik, tanpa keberanian untuk bersuara lantang atau masuk ke wilayah yang lebih "kotor" dan penuh risiko: politik. Ketakutan akan kehilangan integritas atau kenyamanan hidup seringkali menjadi penghalang bagi para cendekiawan untuk ambil bagian dalam menentukan arah bangsa secara langsung.

Bahaya Politik Tanpa Nalar

Ketika parlemen diisi oleh mereka yang lebih mengerti margin keuntungan daripada urgensi kesejahteraan, maka politik kehilangan fungsi intelektualnya. Kebijakan publik menjadi produk kompromi transaksional, bukan hasil kajian mendalam. Rakyat hanya menjadi objek statistik, bukan subjek perubahan. Demokrasi pun berubah bentuk menjadi plutokrasi kekuasaan oleh yang kaya.

Lebih jauh, minimnya keterlibatan intelektual dalam politik juga menyebabkan hilangnya narasi besar dalam perjalanan bangsa. Wacana kebudayaan, keadilan sosial, lingkungan hidup, pendidikan, dan masa depan bangsa tereduksi menjadi retorika kampanye yang dangkal. Politik kehilangan kedalaman, dan hanya menyisakan permukaan yang penuh gimik.

Saatnya Intelektual Turun Gunung

Situasi ini tak bisa dibiarkan. Kaum intelektual harus kembali mengambil peran strategis dalam kehidupan politik bangsa. Mereka bisa menjadi penjaga akal sehat publik, pengusung narasi alternatif, hingga pengambil kebijakan dengan basis moral dan rasional yang kuat. Politik bukan hanya milik para pemilik modal, tetapi milik semua warga negara terutama mereka yang memiliki kapasitas berpikir jernih dan keberpihakan pada rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline