Lihat ke Halaman Asli

Mafia Minyak dalam Novel Burung-Burung Manyar YB. Mangunwijaya

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mafia Minyak dalam Novel Burung-Burung Manyar YB. Mangunwijaya

Jauh-jauh hari sebelum perdebatan mafia minyak mengemuka dalam debat capres-cawapres Rm. Mangun secara jeli pernah menyelipkannya dalam sebuah novel sebagai autokritik pada penghayatan kemerdekan Bangsa Indonesia. Yohanes Padmo Adi Nugroho dalam tulisan “Membaca Burung-burung Manyar Mangunwijaya dalam Perspektif Pascakolonial” mengutip:

Dr. Seta, manager perusahaan tambang minyak multinasional tersebut, menemukan kejanggalan di dalam sistem perhitungan komputer perusahaannya yang membuat Bangsa Indonesia rugi besar. Dia bisa saja menaruh rasa tidak peduli terhadap bangsa kuli tersebut --beberapa kali dia masih memaki Orang-orang Indonesia sebagai bangsa kuli yang tidak tahu bagaimana hidup merdeka dalam negara merdeka-- oleh karena luka sejarah, tetapi sepertinya Warga Negara Amerika tersebut masih memiliki rasa cinta terhadap Indonesia yang kini dianggapnya sebagai pengganti Marice, maminya, yang jadi gila dan akhirnya meninggal dunia. Dia hendak membongkar “penindasan” dan “penjajahan” halus ini dengan resiko kehilangan posisi dan pekerjaan.

Ternyata bertindak sebagai wistle blower nasib Janakatamsi, suami Dr. Larasati (Atik) yang bersedia membantu Dr. Seta membongkar masalah ini dan melaporkannya ke pemerintah bernasib sama saja. Sudah ada kongkalikong antara pemerintah dengan Pacific Oil Wells Company. Janakatamsi dipecat oleh karena mencoba membantu Dr. Seta melaporkan temuan Warga Negara Amerika tersebut kepada pemerintah, sedangkan Dr. Seta sendiri pun juga dipecat dari perusahaan karena membongkar kekeliruan yang disengaja ini. Mereka gagal membongkar penjajahan model baru ini, yaitu menjajah bangsa-bangsa pascakolonial melalui ekonomi, bukan fisik. Kalau perlu, pemerintahnya diajak untuk berkolaborasi melanggengkan keadaan yang ada.

“Sanepan” yang ditulis YB. Mangunwijaya ini saya kira hanya salah satu contoh saja dari sekian banyak kejadian nyata bukan fiksi yang menyangkut situasi kontrak karya dengan berbagai perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia pada waktu novel dituliskan. Hanya saja YBM tidak mungkin mengungkap data riil dalam tulisan opini. Ketika jurnalisme dibungkam sastra berbicara. Kondisi bangsa ini secara sinis dilukiskan Mangun sebagai “bangsa kuli yang tidak tahu bagaimana hidup merdeka dalam negara merdeka.” Semoga bangsa ini tidak lama lagi akan menjadi bangsa yang sungguh-sungguh MERDEKA melalui REVOLUSI ME(N)TAL………….




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline