Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ruslan

Pemerhati Sosial

Pembacaan Struktural Atas Kasus Kekerasan Guru: Berkaca pada Kasus Nurmayani

Diperbarui: 11 Februari 2019   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: www.majalahkartini.co.id

Kasus pemukulan guru terhadap siswa yang berujung pada ancaman pidana, yang marak belakangan ini terjadi, memunculkan kembali wajah ironi pendidikan yang berjalan saat ini. Kasus Nurmayani Salam, seorang guru SMP di Bantaeng Sul-Sel yang kini mendekam dalam bui (12/5). Hanya berselang hari setelah itu kasus yang sama kembali ter-publish, kejadian menimpa Muh Arsal, guru asal Bantaeng, juga tersandung kasus yang sama: pemukulan, yang berujung gugatan penyeleseian lewat hukum.

Membaca hal itu, setidaknya ada dua pokok persoalan dasar yang terjadi. Yang pertama adalah kasus pemukulan atau kekerasan terhadap siswa. Kasus ini bisa dianggap sebagai hal yang bukan kali ini saja terjadi, ia memiliki pertautan pola dengan banyaknya kasus-kasus yang pernah terjadi, hanya saja masyarakat melihatnya dari sudut pandang yang berbeda saat itu dengan ketika hal itu terjadi saat ini. Persoalan kedua adalah persoalan pidana. Kekerasan yang dipidanankan. Pendisiplinan dengan tangan oleh guru terhadap siswa saat ini, sudah bisa terkategorikan sebagai praktik kekerasan. Hal ini tidak lepas dari perubahan cara pandang masyarakat dan tentunya negara lewat perangkat aturan yang mengatur hal ini, sebagai bagian dari dinamika politik pendidikan yang berjalan.

Membaca persoalan ini (kekerasan guru terhadap siswa yang berujung pidana), belum utuh ketika hanya sampai pembacaan lewat pendekatan personal apalagi pendekatan moral, tetapi harus melampaui hal itu, yakni masuk lewat pembacaan struktural atasnya. Tulisan ini mencoba menelisik lewat hal itu.

Produk kesadaran orde yang berbeda

Munculnya riak kekerasan yang berujung pada jalur hukum ini, bukan kali ini saja terjadi. Mungkin di masa-masa yang lalu, praktik yang sama lebih intens terjadi, akan tetapi upaya untuk “memperkasuskan” hal itu lewat jalur hukum, menjadi fenomena lain tersendiri saat ini di tengah alam demokrasi yang mengharuskan kesetaraan sebagai warisan nilai orde reformasi.

Ini menjadi bentuk nyata terjadinya kontradiksi yang ada, berujung pada gesekan dari sebuah realitas pemahaman yang berbeda dengan realitas tuntutan kekinian. Guru yang merupakan produk tatanan lama, dengan realitas pendidikan dan siswa yang hidup dalam tatanan budaya baru. Guru dengan kesadaran pedagogi orde baru yang serba militeristik, berbenturan dengan tuntutan kesadaran demokrasi dan egaliter ditubuh pendidikan yang menjadi warisan orde reformasi.

Memang tak mudah, seorang guru yang dibentuk dan dihasilkan oleh zaman orde baru untuk bisa menyesuaikan dengan tuntutan metode pendidikan yang dituntut di alam reformasi saat ini. Perubahan orde tersebut, juga ikut merubah tatanan hubungan guru-murid. Otoritas guru terhadap murid sedikit demi sedikit ditanggalkan. Ini seperti, sulitnya para militer yang pernah hidup di alam politik orde baru dengan segenap otoritasnya, untuk bisa menyesuaikan perannya di era reformasi yang menjunjung tinggi kekuatan sipil saat ini. Itu terbukti dari kisruh politik yang terjadi belakangan ini (isu kebangkitan PKI), yang melibatkan TNI akhir-akhir ini.

Saya sering kali bertemu guru-guru yang dididik di era orde baru, mengajar sampai saat ini. Dan saat saya ajak untuk berdiskusi dengan kondisi pendidikan saat ini, hampir semua berakhir dalam romantika masa lalu, suatu romantika otoritas atas tatanan pedagogi yang militeristik ala orde baru yang dianggap ideal. Gagasan pendidsiplinan yang paling dikedepankan itu, tidak lepas dan tidak pernah alpha dari definisi-definisi “kekerasaan” dari sudut pandang kekinian.

Karena itu, sangat nampak , para guru yang tejerat kasus yang sama dengan Guru Nurmayani, hampir didominasi oleh guru-guru yang secara pedagogi terbentuk di era orde baru, dijerat dengan aturan yang disemai di orde reformasi. Memang cukup mengundang empati sekaligus dilema.

Empati dan dilema

Empati, saat seorang guru “dipenjarakan” oleh siswanya sendiri. Kita, dengan masyarakat kita, yang masih kental dengan budaya paternalisme-nya, akan memandang hal itu sebagai ironi kalau bukan bentuk “kedurhakaan” siswa terhadap guru. Tetapi, di satu sisi perjalanan demokrasi dan emasipasi sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi, termasuk di dunia pendidikan, seolah menafikan hal itu. Sebagai kaum terpelajar tentu kita akan melihat dan mengakui pula bahwa ada hak-hak siswa sekalipun yang harus dihormati. Konsep egalitarianisme ini, adalah pendobrakan atas tatanan feodalisme dalam pendidikan, dengan menempatkan anak pada tempat yang layak dan manusiawi, yang mana hak-haknya harus dijaga, termasuk keberadaan hukum yang harus melindunginya dari praktik kekerasan guru atas nama otoritas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline