Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Pembacaan Struktural Atas Kasus Kekerasan Guru: Berkaca pada Kasus Nurmayani

24 Mei 2016   01:06 Diperbarui: 11 Februari 2019   00:01 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.majalahkartini.co.id

Dilema ini muncul sebenarnya merepresentasikan antara tuntutan nilai-nilai baru yang ingin dijunjung tinggi dalam pendidikan, bertautan dalam persinggungan dengan lambangnya penerimaan masyarakat atas nilai tersebut. Ini seperti demokrasi di segala bidang yang turun dari atas, masih terbentur dengan pemahaman dan penerimaan di tingkat masyarakat, yang masih berada dalam zona pikir yang lama (feodal). Termasuk di bidang pendidikan.

Kasus Nurmayani ini menggambarkan hal itu, masyarakat lebih banyak menyebut dan menimpakan kasus “dipenjarakannya guru” sebagai hal-hal yang keterlaluan bahkan dianggap tidak manusiawi. Meskipun dari sudut pandang “kesetaraan guru-murid” kekerasan guru juga adalah bentuk hal-hal tidak manusiawi terhadap siswa, karena itu kekerasan tidak bisa berpaling jauh dari pidana. Lagi-lagi, perbedaan pandang ini, mirip perdebatan-perdebatan kaum tradisionalis versus kaum modernis dalam memandang persoalan.

Politik pendidikan dalam hubungan guru dan siswa

Dalam upaya mengurai keterhubungan normatif antara guru dan siswa, kita tidak bisa melepaskan dari politik pendidikan yang berjalan lewat kebijakan-kebijakan pendidikan dalam rentang history yang berbeda. Kalau kita bandingkan hubungan guru-siswa di zaman Belanda (khsususnya sekolah-sekolah Eropa Belanda) saat itu, akan nampak hubungan guru-siswa merepresentasikan budaya Eropa yang penuh egaliter antara tuan guru dan tuan siswa. Terlepas dari politik diskriminatif yang terjadi dalam mengakses pendidikan saat itu.

Sedangkan pengelolaan pendidikan oleh pribumi, banyak tidaknya tidak bisa lepas dari tatanan budaya yang masih berkarakter hirarki. Hubungan guru-siswa terpola dalam garis otoritas, khususnya otoritas karena faktor budaya. Di surau-surau misalnya hubungan kiai-santri merepresentasikan hal itu.

Karakter hubungan hierarkisasi tersebut semakin menguat lewat pertautannya dengan budaya paternalisme masyarakat yang dikuatkan sejak orde baru. Orde baru berhasil mengkonstruksi hubungan guru-siswa dalam hubungan otoritas penjinakan yang paling intim dalam ikatan “orang tua-anak atau bapak-anak” dalam pendidikan.

Konstruksi ikatan “hubungan bapak-anak” yang melekat dalam pendidikan saat ini, tidak lepas dari atmosfir politik orde baru yang dihembuskan Soeharto saat itu. Suatu tatanan politik yang penuh dengan kebiajakan-kebijakan penjinakkan, hingga pembungkaman, tak terkecuali kebijakan politik itu masuk di ranah ruang kesadaran paling intim bernama pendidikan yang menciptakan hubungan guru-siswa sebagai representasi hubungan bapak-anak.

Seperti lazimnya bapak terhadap anak, anak menjadi objek yang dikuasai, dimana bapak dengan otoritas yang penuh, sedangkan anak direpresentasikan sebagai keberadaan yang harus patuh dan taat. Seperti halnya Soeharto yang merepresentasikan diri sebagai “bapak” pembangunan, dan memposisikan rakyat sebagai “anak” yang harus mengikut, tidak boleh membantah apalagi melawan sang bapak. Sebuah kebijakan politik penjinakkan atas nama stabilisasi, yang berujung pembungkaman hingga kekerasan (represif). Dan secara politik pendidikan, model-model ini disemai lewat tradisi pedagogi yang bertendensi maskulin, penuh dengan otoritas, penguasaan, dan pendisiplinan yang berbaur dengan budaya paternalisme (kebapakan), yang secara tidak langsung memberi pendasaran-pendasaran kultural terjadinya “legalisasi” praktik “kekerasan” dalam pendidikan.

Namun saat orde reformasi, dimana isu-isu tentang kesetaraan dan HAM sudah merembes, mempengaruhi segala bidang, tak terkecuali dalam pendidikan itu sendiri. Konstruksi kebapakan dalam relasi guru-siswa juga sepertinya mengalami perubahan penafsiran yang signifikan, seiring dengan disemainya ide-ide tentang kesetaran dan HAM itu sendiri. Guru dengan otoritasnya (khususnya dalam memberi sanksi) sedikit demi sedikit dilucuti. Berkaca pada kasus Nurmayani, cubitan sebagai upaya pendisiplinan, justru bisa berujung pada persoalan pidana, terkategorikan sebagai praktik kekerasan. Hal ini tiada lain merupakan upaya untuk menerjemahkan hubungan kesetaraan guru-murid itu sendiri.

Hubungan kesetaraan guru-murid, bukan hanya ada dalam ruang lingkup pemberian sanksi yang sangat dibatasi bentuknya, tapi juga memang sudah menjalar ke berbagai aspek sistem pendidikan itu sendiri. Seperti metode pembelajaran, dll. Tuntutan-tuntutan perubahan metode pembelajaran di sekolah sudah sangat menjauh dari praktik pembelajaran orde baru yang terus memposisikan siswa sebagai anak yang harus dikontrol dan dikuasai, atau dilucuti perangai kekuasaan siswa. Tuntutan itu mengarah, lagi-lagi pada lahirnya konsep pembelajaran yang memposisikan siswa dalam pola kesetaraan. Kesetaraan hubungan guru-siswa yang terpola dalam hubungan subjek-subjek, bukan lagi subjek-objek.

Kegagalan memahami hingga kegagalan menerjemahkan konsep-konsep perubahan mendasar politik pendidikan ini bagi guru, bisa saja berujung sama dengan kasus-kasus Nurmayani untuk yang lain. Mendorong kembali lahirnya gesekan-gesekan yang hanya akan memperpanjang kasus kekerasan yang berujung pemidanaan guru oleh siswanya sendiri. Apalagi di saat sekolah dan kondisi pendidikan hari ini yang semakin kering secara ideologi, suatu ironi saat hubungan sekolah, guru, dan siswa semakin kehilangan dimensi hubungan ideologisnya. Hubungan ini semakin pragmatis, berkarakter transaksional. Ini tidak lepas sebagai sisi lain dari perjalanan arah pendidikan yang semakin mendekatkan diri pada pasar, yang justru menjauh dari hal-hal yang bersifat ideologis saat ini. Ikatan guru-siswa menjadi longgar, empati makin hilang, “tanpa rasa bersalah dari lubuk nurani” seorang guru bisa dengan mudahnya melakukan praktik kekerasan terhdap muridnya sendiri, di saat yang sama seorang anak yang juga “tanpa rasa bersalah dari lubuk nurani” dengan mudahnya menuntut gurunya sendiri lewat pidana.

Muhammad Ruslan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun