Lihat ke Halaman Asli

Ram Tadangjapi

Cuma senang menulis

Resensi Film Wonderstruck (2017)

Diperbarui: 9 Maret 2019   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: www.rienalmatien.com)

How do you know my name?

Ben (Oakes Fegley) baru saja kehilangan ibunya yang tewas akibat kecelakaan, sampai ibunya meninggal Ben tidak pernah tahu siapa ayahnya hingga suatu ketika ia menemukan selembar kupon dari sebuah toko buku di New York dan sebuah booklet museum yang sedikit membuka rahasia sosok ayah Ben. Sayangnya sebuah insiden menimpa Ben sehingga ia harus kehilangan pendengaran, namun Ben tidak mau putus asa terhadap mimpinya menemukan sang ayah ia kemudian nekat melarikan diri dari rumah pamannya yang merawatnya setelah ibu Ben meninggal. Dengan segala keterbatasan pendengarannya dan berbekal keyakinan Ben berhasil sampai di New York, ia kemudian bertemu dengan Jamie (Jaden Michael) yang kemudian mengajaknya berpetualang di sebuah museum sekaligus membuat Ben memahami makna pertemanan sejati.

Rose (Millicent Simmonds) mengagumi seorang bintang film bernama Lillian Mayhew (Julianne Moore), ia memiliki impian untuk bertemu sang idola suatu saat. Rose yang tuna rungu tinggal bersama sang ayah yang begitu keras terhadapnya, hal tersebut menumbuhkan sikap memberontak di dalam diri Rose hingga ia kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah untuk bertemu sang artis pujaannya di kota New York. Rose tiba di New York dengan penuh rasa takjub sekaligus kebingungan karena tak tahu harus kemana, nasib baik masih berpihak pada Rose sehingga ia bisa bertemu dengan Lillian Mayhew dan membuka rahasia siapa sebenarnya artis yang selama ini Rose puja.

Oakes Fegley sebagai Ben (sumber: Dok. Pribadi)

Sepertinya sang sutradara Todd Haynes sedang membuat eksperimen lewat film ini, dengan menggunakan gambar penuh warna cerah di cerita Ben yang merepresentasikan setting cerita tahun 70-an dan gambar hitam putih plus tanpa suara dialog (film bisu) di kisah Rose untuk menggambarkan setting tahun 20-an sang sutradara mencoba mengangkat dua kisah berbeda masa namun masih punya benang merah dan korelasi satu sama lain. Saya suka cara bertutur Haynes di film ini, kisah Ben dan Rose dipaparkan secara bergantian namun tidak membuat jalinan cerita terhambat dan terbata-bata mencari penyelesaian, saya pikir Haynes berhasil membuat sebuah film dengan gaya unik dan berbeda dari film-filmnya sebelumnya, namun lazimnya film seperti ini tidak terlalu berhasil untuk mengeruk keuntungan finansial.

Kekurangannya film ini tidak punya segmentasi khusus, meskipun dua pemeran utamanya adalah anak-anak namun film ini jelas susah dikonsumsi oleh anak-anak karena cerita yang susah dicerna dan dipahami maksudnya oleh anak-anak. Masuk ke film drama keluarga pun saya kira tidak bisa karena tidak ada konflik keluarga yang kuat di tiap cerita.

Oakes Fegley dan Millicent Simmonds bermain cukup apik dan natural, mereka mampu tampil tanpa beban dan menghidupkan karakter yang mereka perankan. Untuk Millicent Simmonds lebih spesial karena guratan emosi begitu nampak dan mampu menggambarkan apa yang ia rasakan. Aktris senior Julianne Moore yang  tampil sebagai karakter Lillian Mayhew artis idola Rose dan sebagai Rose masa tua juga masih memberikan penampilan menawan, saya paling suka saat Julianne Moore jadi Rose saat tua dimana ia menggunakan bahasa isyarat namun dari tatapan matanya kita tahu ia menyimpan sebuah rahasia besar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline