Lihat ke Halaman Asli

Zofrano Sultani

Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Masyarakat Global Memasuki Masa Kedigdayaan Cina dalam Era Disrupsi Revolusi Industri 4.0: Paradoksal Pertikaian dan Hegemoni Cina dengan Amerika Serikat

Diperbarui: 5 Februari 2021   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tahun 2016, saya terbelalak mendengar kemenangan besar Partai Republik (Republican Party) yang di pimpin oleh Donald John Trump mengalahkan kandidat pesaingnya, Hillary Clinton dari Partai Demokrat (Democratic Party) melalui channel CNN di YouTube. Hasil analisis saya terhadap Trump memenangi Pemilu 2016 adalah ekonomi dan politik global dihadapkan pada konstelasi perang urat ekonomi antara Cina dan Amerika Serikat (AS) merupakan strategi politik luar negeri AS memulihkan hegemoni ekonomi yang direbut oleh Cina. Donald Trump merupakan raja media massa dan konglomerasi Amerika Serikat, yang selama kampanye mengelu-elukan make American great again in Industrial Revolution 4.0 menjadi paradoksal di batin dan pikiran saya. Mengapa menjadi kegundahan hati saya atas kemenangan Trump? karena secara politik internasional yang berlangsung di dunia membangkitkan kepemimpinan populisme. Kepemimpinan populisme merupakan paradigma baru (new paradigm) di dalam ilmu politik selain new democracy, yang memiliki tujuan menarik dukungan dari masyarakat yang merasa aspirasinya tidak diperhatikan oleh pemerintah saat itu sedang berkuasa. Dalam ilmu politik, populisme menggambarkan suatu masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok: “the pure people” (the good) dan “the corrupt elite” (the bad). Berkembangnya populisme karena ada masyarakat yang teralienasi dan termarjinalkan secara sosiopsikologi akibat-akibat kebijakan pemerintahan yang sedang memerintah tidak pro-rakyat dan melanggengkan oligarkhi.

Kepemimpinan populisme yang merebak di dunia sangat gamblang dijelaskan Jan-Werner Müller. Jan-Werner Müller (2016) pada bukunya yang berjudul “What is Populism?” yang diterbitkan oleh University of Pennsylvania Press membandingkan Donald Trump (USA (United States of America)), Silvio Berlusconi (Italy), Marion Anne Perrine “Marine” Le Pen (France), dan Hugo Chávez (Venezuela) selaku orchestra (orkestra) populisme pasca Perang Dingin dan tragedi 9/11. Tidak hanya AS, Italia, Prancis, dan Venezuela yang terjangkit “virus” populisme yang dilupakan Müller yaitu Vladimir Putin (Russia Federation), David Cameron, Theresia May, dan Alexander Boris de Pfeffel Johnson (United Kingdom), Rodrigo Duterte (Philippines), Recep Tayyip Erdogan (Turky), Andrzej Duda (Poland), Sebastian Kurz (Austria), dan Viktor Orban (Hungary). Pemimpin-pemimpin itu adalah bukti bahwa populisme sudah bangkit dan terus bangkit apabila proponen demokrasi tidak mengekang perkembangan praktek ini. Jan-Werner Müller (2016) termasuk Steven Levitsky & Daniel Ziblatt (2019) Bagaimana Demokrasi Mati: Apa yang Diungkapkan Sejarah tentang Masa Depan Kita memberikan opsi bahwa nilai inti dari seorang pemimpin yang populis adalah penolakannya atas keberadaan pluralisme di masyarakat. Analisis tersebut menggambarkan para pemimpin populis selalu mengklaim bahwa dialah satu-satunya orang yang dapat mewakilkan masyarakat secara luas dengan hanya bersandiwara untuk mendapatkan dukungan. Namun, pemimpin populis yang real dapat memimpin pemerintahan yang memang berkomitmen secara moral untuk mewakilkan masyarakat. Bahaya dan dampak psikososial dan politik bagi masyarakat dan negara yang dipimpinnya adalah pemimpin ini dapat dengan mudah mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter yang mengecualikan orang-orang yang tidak dianggap menjadi bagian “masyarakat” menurut pengertian si pemimpin.

Kemenangan Trump berhasil merebut electoral college dari Pennsylvania, Michigan, Wisconsin, Ohio, Florida, Indiana, Iowa, dan North Carolina, yang sebelumnya dikuasai Demokrat di bawah Barack Obama tahun 2008. Tampilnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke 45 begitu kontroversial dan membawa angin nasionalisme populistik rakyat Amerika yang selama kepemimpinan Barack Obama membawa AS kepada kemunduran. Trump ini membawa angin perubahan yang populis terhadap para pendukungnya terkait isu kedigdayaan Cina di bidang ekonomi, politik, dan militer, serta kerja sama multilateral yang tidak menguntungkan AS selama ini. Adapula masalah imigran, masyarakat transnasional, dan minoritas seksual, Timur Tengah dan Islam, Uni Eropa, Afrika, Asia dan Pasifik, kasus ilegal kepemilikan senjata, dan lain-lain yang perlu penanganan “ekstra humanis” dari Amerika Serikat (AS). Populisme yang dibawa Trump membawa anti-imigran dan minoritas seksual, nasionalisme ekonomi politik semu, dan lebih parah adalah kecenderungannya untuk menganggap semua kebijakan dan pendapat yang berlawanan dengan pemikirannya sebagai “musuh besar” masyarakat Amerika Serikat.

Menurut wartawan BBC, Anthony Zurcher (9 November 2016), ada 4 faktor mengapa Trump memenangi pemilu Amerika Serikat tahun 2016. Pertama, para pemilih terutama kelas pekerja kulit putih, terutama yang tidak mengenyam pendidikan universitas, laki-laki dan perempuan, beramai-ramai meninggalkan Demokrat dan memilih calon dari Republik. Mereka meninggalkan Demokrat karena sejak Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Barack Obama mengalami kesulitan untuk menunjukkan eksistensinya hidup di AS dan merasa ditinggal oleh kalangan mapan meskipun ada Obama Care. Mereka yang tinggal di pedesaan menggunakan suara, antara lain dengan tujuan suara mereka didengar. Kedua, adalah langkah Trump melawan tokoh-tokoh mapan ini mengesankan bahwa dirinya adalah orang luar dan orang independen. Status ini diperoleh ketika warga sudah tak ingin lagi melihat kelompok mapan berada di panggung politik AS. Ketiga, Direktur FBI (Federal Bureau of Investigation), James Comey, mengeluarkan surat berisi keputusan FBI untuk membuka lagi kasus penggunaan email pribadi dalam korespondensi Clinton sebagai Menteri Luar Negeri AS era Obama. Keempat, yaitu strategi pemasaran dan kampanye politik Donald Trump yang menggunakan media massa seperti Fox News, twitter, dan menggelar rapat-rapat akbar seraya mengirim pesan agar warga menggunakan hak suara dan mencitrakan Partai Republik, partainya rakyat AS yang “humanis”.

Melansir Reuters, berdasarkan laporan Associated Press (2016) dari penghitungan yang masuk menunjukkan Trump telah meraih 304 suara pemilih kolase (electoral collage). Sementara rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, hanya berhasil meraih 227 suara. Tidak lupa, Donald Trump mengampayekan “make America great again (MAGA)” atau membuat Amerika kembali berjaya dari Republik Rakyat Cina. Semboyan tersebut kontras dengan semboyan lawannya, Hillary Clinton yaitu "strong together" yang tak terlalu jelas apa pesan yang mau disampaikan selama debat presiden dan kampanye berlangsung. Publik Amerika tentu menginginkan kepastian dari kandidat calon presiden untuk membawa AS keluar dari defisit perdagangan dengan Republik Rakyat Cina dari tahun 2014. Benjamin Moffitt (2016) di dalam bukunya yang berjudul The Global Rise of Populism: Performance, Political Style, and Representation diterbitkan di Redwood City, California oleh Stanford University Press memaparkan metode kampanye serba anti juga merupakan salah satu ciri khas pemimpin populis: anti-pemerintahan, anti-politik dan kerja sama internasional, anti-masyarakat transnasional, dan anti-elitis. Politik anti ini memberikan ruang gerak bagi pemimpin populis seperti Trump untuk selalu menciptakan ‘musuh’ baru untuk dilawan. Skenario seperti ini membuat si pemimpin terlihat sangat heroic dan kuat seperti strongman leaders, padahal nyatanya tidak mampu merumuskan kebijakan publik dan negara yang rasional dalam menghadapi tantangan dan peluang di era disrupsi Revolusi Industri 4.0 menghadapi Cina.

Secara sejarah politik Amerika Serikat, nilai-nilai Republican Party yang mendarahdaging (enkulturasi) cenderung konservatif, inward outlook, menonjolkan white supremacy, dan religious-fanatics, mampu dieksploitasi secara baik oleh Trump dengan bahasa yang paling provokatif dan progesif dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan politik identitas AS ke dalam perpolitikan global. Kebangkitan Cina yang membuat Amerika Serikat (AS) bertekuk lutut di tahun 2016 membawa Cina kepada masa kedigdayaan di era disrupsi Revolusi Industri 4.0 tidak terlepas dari modernisasi Deng Xiaoping tahun 1976. Pada tahun 1976, Deng Xiaoping mengonsolidasi kader partai konservatif-dogmatis dan moderat-pragmatis untuk membawa agenda modernisasi di Sidang Pleno ke-3 Komite Sentral Partai Komunis Cina (KS PKC) ke-11 tanggal 18-22 Desember 1978 di Beijing yang dihadiri 169 orang dan anggota alternatif dari 112 orang (Hasil Keputusan Sidang Pleno ke-3 Komite Sentral Partai Komunis Cina ke-11 tangal 18-22 Desember 1978). Modernisasi Deng Xiaoping berhasil membuka pemulihan diplomatik dengan Amerika Serikat di tahun 1979, Korea Selatan, Jepang, dan Uni Soviet untuk memperoleh investasi asing (foreign direct investment) bagi pembangunan dalam negeri.

Perkembangan Republik Rakyat Cina berkembang pesat melalui modernisasinya hingga pasca Perang Dingin. Sejak 2009, Cina menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global pasca modernisasi Deng Xioping yang mengantarkannya menjadi jawara dunia dalam bidang manufaktur (sejak 2011), perdagangan (2012), jumlah GDP (2014) dan kelas menengah (2015), sampai pada jumlah triliuner, riset Artificial Intelligence (AI), serta kapasitas energi surya terpasang (2016) (Okezone.com, 2016). Memasuki era disrupsi Revolusi Industri 4.0, Cina mengemas Revolusi Industri 4.0 menjadi strategi ekonomi negara dalam menghadapi kondisi fluktuasi ekonomi global dan domestik. Pada tahun 2015, Cina meluncurkan Made in China 2025 untuk mengembangkan, membangun, dan mengambilalih produksi manufaktur dunia berbasis teknologi sebagai bagian good governance Xi Jinping. Ini bisa dibuktikan banyak perusahaan asing dari Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan AS yang membangun pabrik di Cina seperti Jepang dengan perusahaan Mabuchi Motor, Canon, dan Toshiba di Dalian, Liaoning (Lam & Graham,2007:253-255). Hal itu untuk mendorong kegiatan produksi industri dalam negeri Cina menjadi kegiatan berbasis ekspor ke luar negeri yang terstandardisasi internasional. Di samping itu, pemerintahannya menggelontorkan dana riset besar-besaran kepada lembaga riset di bidang sains dan teknologi maupun sosial-humaniora untuk memberikan solusi dan alternatif dari strategi pengembangan industri dalam negeri berorientasi ekspor terhadap dampak yang ditimbulkan dari strategi Made in China 2025.

Strategi tersebut menyebabkan Cina membentuk rantai industri paling lengkap di dunia dengan cadangan devisa terbesar yang mampu menciptakan kelas menengah terbesar di dunia dan Asia Timur. Untuk memenuhi strategi Made in China 2025, maka Cina mempersiapkan infrastruktur jaringan internet dan fasilitas pembangunan pelabuhan dan sarana-prasarana lainnya melalui pembangunan di negara-negara Asia dan Afrika. Tentu secara ekonomi politik Cina diuntungkan dengan adanya bantuan pembangunan ke negara-negara itu, karena Cina membutuhkan sumber daya alam juga yang menopang Revolusi Industri 4.0 negaranya sehingga bahan baku yang dibutuhkan untuk pembangunan dalam negeri Cina dibeli dengan harga pasar, bukan diraih dari menjarah dari negara lain seperti negara-negara Barat melalui kolonialisme dan imperialisme abad 18-19. Bahan baku yang didapat kemudian diolah di dalam negeri untuk selanjutnya dijual di bawah kontrak internasional, tidak melalui perang dengan negara lain, akan tetapi melalui kemitraan strategis (strategic partnership).

Tujuan tulisan ini adalah mengevaluasi kemajuan Cina yang menyeret AS pada pertikaian dan hegemoni antara Cina dan AS yang menggeser dan mengubah tatanan ekonomi politik global yang terlanjur terAmerikanisasi dengan memasukkan misi perdamaian dan kemitraan strategis ke dalam One Belt One Road (OBOR) dan China 2049 vision melalui penggunaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).

Penampilan Cina yang Memukau Dunia dari Modernisasi ke Pengembangan dan Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Memukaunya Cina tidak terlepas dari modernisasi Deng Xiaoping yang meredefinisi komunisme sesuai perkembangan zaman. Modernisasi Cina meletakkan dan memperkuat peran negara seperti Partai Komunis Cina (PKC) dan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) (People’s Liberation Army (PLA)) sebagai kekuatan produktif negara. Kekuatan produktif negara yang dimaksud adalah memaksimalkan individu-individu yang ada di PKC dan TPR dengan memberikan pengetahuan modern dan pengiriman ke luar negeri untuk studi yang berperan andil memberikan masukan di dalam perencanaan negara (state planning). Mereka-mereka ini kemudian menjadi kader yang birokrat-teknokrat yang terdidik dan pemerintah jor-joran menggepuk calon mahasiswa Cina untuk belajar bahasa Inggris. Dikarenakan di dalam Sidang Pleno ke 3 Komite Sentral PKC ke 11 tanggal 18-22 Desember 1978, Deng Xiaoping memaparkan perincian 4 poin modernisasinya menjadi 6 poin kunci (key point) yang salah satunya menurut Gary Stephen Andrasko (2010) pakar politik dari Seton Hall University adalah mempercepat kepemimpinan transisi/kaderisasi dalam bentuk pemimpin dan kader harus berpengetahuan, revolusioner, dan dengan keterampilan khusus menghadapi tantangan perubahan zaman yang semakin cepat. Hal ini berbeda dengan USSR (Union of Socialist Soviet Republic/Uni Soviet), yang menurut Mao Zedong di dalam Empat Karya Filsafat (2001:87-88):

“Uni Soviet di bangun dari pondasi feodalisme dan kapitalisme yang tidak hancur sama sekali ketika komunisme berjaya. Sebab mereka mewujudkan diri sebagai materialisme dialektis yang mengontradiksikan buruh ke dalam ikatan kapitalis sehingga perjuangan kelas tersendat. Sementara di Cina, kekuatan rakyat baru melakukan perubahan sehingga feodalisme dan kapitalisme runtuh dan mengalami pukulan dari kekuatan reaksioner”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline