Lihat ke Halaman Asli

Pesantren Cipasung, NU dan Pilpres 2019

Diperbarui: 10 Juni 2017   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Malam tarawih pertengahan Ramadan tahun ini, Presiden Jokowi bergumul dengan 2000 lebih santri Pondok Pesantren Cipasung (PC). Dengan sangat antusias, para santri dan asatid di Cipasung menyambut presiden untuk melaksanakan shalat malam bernama tarawih. Bermacam prilaku yang ditunjukan oleh para santri terhadap kunjungan presiden ini, ada yang ingin salaman sun tangan ala tradisi pesantren tradisional umumnya, ada juga selfi dan wefie dengan handphone ala masyarakat masa kini. Mereka heboh dan sangat memanfaatkan momen langka ini sebagai bonus pengajian ritual di bulan suci.

Saya memiliki ikatan panjang dengan PC. Secara historis dan kultur, saya memiliki catatan khusus tentang PC, baik sebagai santri, sebagai guru, sebagai dosen, dan tentu saja sebagai bagian keluarga besar PC. Jadi, saya sangat paham tentang arah perpolitikan PC walaupun tidak sepaham pada lingkaran intinya. Namun saya sedikit banyak tahu tentang sepak terjang PC dalam kontribusinya secara Nasional, baik dalam dimensi keagamaan, sosial sampai perpolitikan.

Secara historis, Cipasung dan Sukamanah yang diwakili tokoh pahlawan KH Zaenal Mustofa dan KH Ruhiyat adalah awal tonggak sejarah PC sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Tahun 1996, Muktamar NU melegitimasi Cipasung sebagai bagian pesantren penting di Indonesia. Di sinilah Gus Dur dipilih jadi ketua PBNU secara kontroversi, di mana pemerintah saat itu tidak menghendakinya. Tahun 2012, Cipasung pun jadi tempat Ijtima’ Ulama Nasional ke IV di mana saya adalah koordinator Bahasa untuk delegasi internasionalnya. Ada 14 ulama internasional yang harus didampingi pada acara ini. Singkatnya, PC telah menancapkan perannya di bumi Indonesia sebagai pesantren yang penting dan berperan.

Di samping kegiatan keagamaan, keluarga PC pun memiliki wakil rakyat mulai dari kabupaten, provinsi sampai nasional. PKB dan PPP adalah afiliasi mayoritas PC dalam menentukan pilihan politiknya. Namun, partai bukanlah yang terpenting dalam struktur PC. Partai hanya kendaraan saja, tetapi “ideologi” Nahdlatul Ulama (NU) lah yang menjadi patokan keberpihakan politiknya. Sampai saat ini, bahkan kepengurusan PCNU yang baru, kombinasi PC dan Pesantren Sukamanah/Sukahideung menjadi lokomotif NU di kabupaten Tasikmalaya.

Dalam konteks ke-NU-an, kita mengenal organisasi Jam’iyah dan organisasi Jamaah. Organisasi yang pertama adalah organisasi struktural yang memiliki kaitan struktur organisasi dengan jam’iyah NU. Banyak organisasi yang terstruktur kepada Jam’iyah NU seperti Lembaga bahtsul Masa’il, Lakpesdam, Lesbumi, dan Badan otonom (Banom) lainnya. Untuk yang linier dengan PC sebagai lembaga pendidikan, maka ada Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU) yang membawahi STAINU dan UNU. Untuk pendidikan dasar dan menengah ada Al Maarif.

Cipasung sebagai lembaga pendidikan pesantren bukan lah organ langsung dalam NU. Ia adalah organisasi yang dimiliki oleh Jama’ah NU. Ia adalah follower NU dalam segala aspek, baik secara historis maupun kultur. Afiliasi PC, seperti kebanyakan pesantren di Indonesia, ke ormas NU merupakan perjalanan yang panjang dan tidak bisa dipisahkan secara mudah. PC yang memiliki pendidikan PAUD, MI, MTS, SMP, SMA, MAN, PTKI, PTU adalah gambaran bagaimana PC menjadi pesantren yang mampu melahirkan pendidikan formal.

Bila PC disebut pesantren tradisional, kita mengiyakan. Karena kitab kuning dan tradisi kepesantrenan masih terwariskan dengan baik. Namun bila melihat perkembangan pesat PC sebagai pesantren yang jauh meninggalkan pesantren takhasus, sepertinya PC telah bertransformasi menjadi pesantren yang komprehensif. PC adalah salah satu pesantren yang berafiliasi ke NU dan menjadi “orang tua” untuk pesantren-pesantren kecil lainnya. Dari sisi kegiatan, hampir semua kegiatan NU dipusatkan di PC sebagai simbol inteegrasi Jam’iyah dan Jama’ah.

Jadi, dalam konteks apapun ketika kita menyebutkan PC sebagai lembaga sosial pendidikan keagamaan, maka di situ pulalah NU hadir tak terpisahkan. NU dan PC adalah bak sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. NU tidak bisa berkembang tanpa PC, begitupun PC tidak bisa melangkah maju tanpa NU. Mereka adalah satu dalam dua dimensi. Aktornya adalah orang hebat di dalamnya yang tidak bisa dipisahkan, bahkan bisa dalam satu individu. Aktor terpenting inilah yang selalu mengintegrasikan NU Jam’iyah dan Jama’ah dalam satu bingkat bernama perjuangan Islam.

Lalu, kenapa Jokowi sangat tertarik kepada PC. Saya tahu bahwa sebelum mencalonkan presiden, Jokowi pun datang ke sini untuk meminta restu. Hal ini berbeda dengan Prabowo. Turunan-turunan dari prilaku Jokowi atas restunya tahun 2014 pun begitu kental dengan PC. Setiap gubernur atau bupati yang mau nyalon, pasti meminta restu PC. Bahkan untuk dunia akademik pun memiliki suasana yang sama dimana restu PC sangat mujarab untuk merubah arah keberpihakan kementerian. Ini tidak lepas dari kedekatan Kyai H. A. Bunyamin dengan KH. Hasyim Muzadi (Almarhum). Dua sosok inilah yang mengantarkan Jokowi menjadi RI 1 pada tahun 2014, terlepas dari segala kontroversinya.

Jokowi yang jadi RI 1 tahun 2014 sudah barang tentu bukan hanya direstui oleh PC, namun NU secara umum. Hal ini menjadi antitesa atas pemilihan Prabowo kepada tokoh Muhammadiyah ketum PAN, Hatta Rajasa sebagai pendamping Pilpres 2014. Sebagaimana kita maklumi, bahwa ada kontestasi tingkat tinggi antara NU dan Muhammadiyah dalam melihat kecenderungan keberpihakan politik. Semisal dulu Gus Dur pasti selalu berbeda dengan Amin Rais pada awal reformasi. Islam Rahmatan Lil Alamin dan Islam Nusantara yang diusung NU berbeda dengan Islam berkemajuan ala Muhammaiyah pada konteks saat ini, bahkan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan yang selalu identik dengan kontestasi dua ormas ini.

Bagi saya, kontestasi itu adalah dinamika yang menguntungkan Islam. Jadi ketika Islam berdiri pada dua kaki, maka Islam tidak akan ketinggalan gerbong dalam berpolitik, bernegara dan berbangsa. Bila Islam dalam ormas satu “kalah” maka ormas lain menjadi ‘pemenang”. Ini sangat baik dalam dinamika kehidupan beragama, dan tentu saja Islam sebagai agama mayoritas memiliki kepentingan politik untuk keberlangsungan kegiatan keagamaan di negeri tercinta kita ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline