Lihat ke Halaman Asli

Tuhan yang Mulai Terlupakan

Diperbarui: 5 Juli 2022   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Robert Collins on Unsplash   

hai sobat pembaca dimanapun berada. semoga senantiasa dalam keadaan sehat. 

kali ini saya ingin bercerita semasa kecil saya saat di kampung. masa kecil adalah masa yang menyenangkan namun ternyata masa itu begitu cepat berlalu, masa dimana kita masih asyik bermain dengan kawan sampai lupa waktu. permainan-permainan tradisonal masih banyak dimainkan waktu itu. seperti kelereng, layangan, doku, dan permainan tradisional lainnya. masa dulu gadget pun masih yang ninut-ninut, bukan yang android. dimana orang-orang menggunakan gadget hanya untu telfonan dan SMS saja. 

namun pemandangan berbeda sangat terasa saat ini, dimana anak-anak sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamarnya. asik bermain dengan kawannya di dunia maya. sehingga tidak heran ketika permainan-permainan tradisional menjadi hal asing bagi mereka saat ini. dan untuk bersosialisasi dengan kawan-kawannya di dunia nyata menjadi canggung dan pemalu, dan terkadang lebih memilih untuk menutup diri. 

ketika saya SD, orang tua senantiasa menyuruh saya untuk mengaji, tidak peduli mau hujan atau tidak. karena yang mereka khawatirkan adalah ketika mereka sudah tiada suatu saat nanti, anaknya tidak bisa mengaji, sehingga tidak ada yang mendoakannya. 

hal itu terus membekas di ingatan saya, bagaimana orang tua dulu sangat menjaga nilai-nilai agama yang begitu luhur untuk diteruskan oleh generasi selanjutnya. karena bagi orang tua saya, lebih baik sakit mempelajari ilmu agama dari pada menyesal di kemudian hari. jadi tidak heran jika orang Madura pada umumnya pandai mengaji, karena didikan terhadap ilmu-ilmu agama begitu kuat ditanamkan sejak dini ke anaknya. 

dulu juga ada sekolah madrasah atau diniyah, dimana disana kita belajar seputar hadis, belajar baca quran, dan pelajaran seputar agama. biasanya kegiatan belajar mengajarnya dimulai dari jam satu siang sampai jam setengah empat sore. setelah itu biasanya kita main sepak bola atau bermain  layangan bersama teman-teman. 

dan Maghribnya khusus untuk mengaji, jadi dulu satu hari bisa dibilang full agenda belajar, hanya sore waktu untuk kita bermain, yang kita maksimalkan sebaik mungkin. dan itu sangat kita rasakan manfaatnya saat kita dewasa, dimana ketika diminta jadi imam kita bisa, paling tidak membaca al Quran dengan lancar, dan memimpin doa di acara pengajian. 

semakin kesini sekolah madrasah atau diniyah sudah mulai sedikit, dan peminatnya juga semakin menurun. hal itu tak lepas dari hadirnya gadget ditengah-tengah anak muda, sehingga menganggap kita tidak perlu sekolah seperti dulu lagi, karena ilmunya sudah bisa kita pelajari lewat gadget. 

namun hal itu tentu bukan menjadi pembenaran, bagaimanapun belajar lewat youtube dengan langsung belajar ke guru itu hasilnya akan berbeda, karena guru mendidiknya menggunakan hati. namun disatu sisi ini menjadi ironi bagi anak muda sekarang, karena kalau orang tua terlalu membiarkan anak-anak akan menjadi ketergantungan. 

lihatlah generasi kita hari ini, kemanapun pergi tidak bisa lepas dari namanya gadget. bahkan dia akan merasa cemas dan khawatir jika sampai gadgetnya kehabisan daya, maupun kuota. mereka sibuk membangun koneksi dengan keluarga, rekan kerja. namun terkadang lupa untuk membangun koneksi dengan tuhannya. 

bukankah kehabisan iman lebih kita takutkan dari pada kehabisan daya baterai gadget kita, atau kehabisan kuota kita?, harusnya hal-hal itu yang mulai kita tanamkan pada generasi penerus bangsa ini.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline