Lihat ke Halaman Asli

Yustina Ari Listiyanti

paramedic vet, bakul telur, traveller

Ketika Fisik Manusia Sudah Lelah Tangani Wabah

Diperbarui: 13 Juli 2021   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Rifkianto Nugroho, detikcom

Barangkali saat ini merupakan saat tersulit dan terberat bagi manusia dan alam semesta. Beban wabah kian bertambah. Tidak berkurang, tapi malah semakin melonjak. 

Dilansir dari detikcom, Senin 12 juli 2021, kasus positif covid 19 di Indonesia bertambah 40.427 kasus dan total sudah menembus angka 2.567.630. Sungguh, rekor baru lagi. Rekor yang buruk. Pun alam juga merasakan getirnya pandemi. Sampah masker, sampah APD, sampah plastic mulai merangsek ke bumi pertiwi. 

Tapi apa mau dikata lagi. Yang terpenting sekarang adalah menjaga dan mengusahakan agar manusia tetap bisa bertahan dan hidup. Meskipun akhir-akhir ini antrian ambulance pembawa jenazah covid 19 antre menuju peristirahatan mereka yang terakhir. Sirine nya pun meraung-raung menambah ramainya jalanan. Ya, meski sebenarnya jalanan kini tak seramai dahulu, seiring dengan adanya PPKM darurat. Lengang, sunyi, manusia terkunci, merintih dalam sanubari.

Seiring sejalan dengan antrinya ambulance di pemakaman, rumah sakit-rumah sakit tak sanggup lagi menerima pasien. Banyak yang dirawat. Banyak yang sekarat. 

Membludak, hingga sampai ada yang harus dirawat di tenda-tenda darurat. Ramai-ramai vitamin dan obat antivirus diburu masyarakat. Juga oksigen-oksigen yang semakin susah menemukannya. Anjuran menggunakan double masker pun mengudara. Anjuran ini untuk mencegah penyebaran covid 19 dengan lebih optimal. 

Dilansir dari kontan.co.id, persentase partikel yang terblokir jika seseorang menggunakan masker medis yang dilapisi masker kain bisa mencapai 85,4%. Masyarakat semakin kewalahan, tapi tetap harus waspada, tak boleh ada celah lengah, meski sebenarnya sudah jengah. Tetapi  lelah fisik itu pasti ada. Apalagi mereka yang setiap hari berjibaku dengan pasien-pasien covid dan jenazah-jenazah covid. 

Dokter, perawat, tenaga kesehatan, penggali kubur, petugas pemulasaran jenazah, sopir ambulance. Bagaimana tidak, demi raga yang lain seperti lirik lagu Eka Gustiwana, mereka terjaga sepanjang waktu. Jerih lelah yang tak ternilai , berkorban tanpa suara. Bukan hanya untuk yang masih hidup dan dirawat saja, tapi juga untuk raga orang-orang yang sudah berpulang yang harus diperhatikan secara layak dan pantas.

Seperti sedikit pengalaman saya dan suami seminggu yang lalu saat ada rekan yang meninggal saat isoman. Beliau isoman bersama anak dan istri yang juga positif. 

Saat itu suami ikut mengurusi pemakaman beliau secara daring by phone karena jelas tidak mungkin untuk datang ke rumah duka. Betapa saat itu mencari peti sedikit mengalami kesulitan, karena peti khusus covid di area Surabaya sudah ludes malam itu. 

Akhirnya suami memesan peti yang lebih mahal untuk beliau. 5 juta. Kemudian karena terlalu malam menghubungi pihak TPU di Sidoarjo, jenazah beliau harus "bermalam" terlebih dahulu di rumahnya. Saya dan suami waktu itu membayangkan, betapa rasa sedih dan sunyi pasti menyelimuti istri dan anaknya yang terjaga disitu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline