Lihat ke Halaman Asli

Yusril Izha Mahendra

Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Kekayaan Alam Lampung: Kutukan atau Berkah?

Diperbarui: 27 Maret 2021   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"...Padahal, Indonesia merupakan negeri strategis dan kaya akan potensi sumber daya alam, baik darat maupun di laut.." kurang lebih demikian petikan pidato Soekarno yang bertajuk "Indonesia Menggugat" yang dibacakan ketika menjalani persidangan di Bandung pada tahun 1930. Dari pidato presiden pertama  Indonesia tersebut paling tidak memiliki dua makna yang masih relevan hingga saat ini. pertama, menggambarkan posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki letak strategis yakni di antara Samudra Hindia dan Pasifik dan antara benua Asia dan Australia dengan demikian Indonesia memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan sebab dilalui jalur perdagangan dunia. Kedua, menekankan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya sebagaimana dalam lirik lagu Koes Plus, kolam susu.

Dengan kondisi demikian tidak salah bila mayoritas pelajar maupun masyarakat umum memberikan jawaban "sumber daya alam yang melimpah" atau dengan berbagai macam redaksional berbeda namun tetap pada makna dan merujuk pada kondisi yang sama bila diajukan soal "apa kelebihan Indonesia?".

Namun pernahkah kita menguji kekayaan tersebut? Atau kah kekayaan alam yang sering dibanggakan tersebut sebatas asumsi narsisme kita saja sebagai warga negara? Bila kita lihat dari sisi kebutuhan pokok nyatanya Indonesia masih mengimpor beberapa komoditi seperti Kedelai, Bawang Putih, daging Sapi dan gula pasir. Dengan dalil tingginya permintaan, menjaga stok hingga menjaga keseimbangan harga masih dapat kita tolerir. Namun bagaimana dengan permasalahan ketimpangan pembangunan antar daerah, permasalahan ketimpangan penduduk atau rasio gini (gini rasio), hingga privatisasi beberapa sumber daya alam seperti hutan dan tambang batu bara.

Berkah atau kutukan?

Sebagaimana tesis Richard Auty (1993) yang berjudul Sustaining development in mineral economies : the resource curse menggolongkan sumber daya alam yang dimiliki suatu negara sebagai sebuah kutukan. Dalam tesis tersebut digunakan istilah kutukan sumber daya untuk menjelaskan bagaimana negara-negara yang SDA-nya berlimpah tak mampu menggunakan kekayaan tersebut untuk mendorong ekonomi mereka dan bagaimana mereka merasakan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat daripada negara-negara yang SDA-nya lebih besar. (Richard Auty 1993)

Tesis tersebut secara koheren dan empiris bersesuaian dengan kondisi Indonesia yang memiliki kekayaan alam tetapi juga menjadi penderitaan bagi masyarakat. Di antaranya bukti yang mendukung pernyataan tersebut Pertama, bila melihat perekonomian Indonesia secara umum sektor primer (pertanian dan pertambahan) atau yang berbasis sumber daya alam masih memiliki kontribusi yang cukup besar pada PDB dan juga penyerapan tenaga kerja. 

Hal tersebut mengindikasikan ketergantungan masih cukup tinggi pada alam. Kedua, menimbulkan kerusakan lingkungan. Menurut Kompas (2012), 70% kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia merupakan akibat dari operasi tambang, beberapa diantaranya yaitu, mengubah bentuk topografi tanah dan keadaan muka tanah (land impact) sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya, menimbulkan berbagai macam gangguan, antara lain pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah air, tailing, serta buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun dan terakhir dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang, dan gempa. (Abrar Saleng, 2004). 

Ketiga, dapat menimbulkan konflik internal akibat kepentingan pribadi. Sebagaimana yang terjadi di Urut Sewu, Kulon Progo, dan Papua. Di mana suatu daerah ditakdirkan berkelimpahan SDA, disana pula-lah masyarakat di dalamnya juga musti menanggung takdir derita.

Bagaimana Dengan Lampung?

Bila melihat lingkup lebih kecil dalam hal tersebut adalah provinsi Lampung ketersediaan sumber daya alam yang melimpah merupakan berkah atau bahkan kutukan? Hal tersebut relevan untuk dipertanyakan sebab bila melihat struktur perekonomian provinsi Lampung, secara umum diklasifikasikan menjadi tiga sektor utama yaitu primer (pertanian dan pertambangan), sekunder (manufaktur), dan tersier (perdagangan, jasa dan lainnya). 

Berdasarkan data tahun 2011-2019 sektor primer rata-rata berkontribusi 37% terhadap PDRB yang jauh lebih tinggi dibandingkan sektor sekunder dan tersier. Selain itu sektor primer juga berkontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja hingga 53,22% dari total keseluruhan tenaga kerja yang ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline