Kira-kira empat tahun lalu saya ada kegiatan di kota Medan, Sumut. Saya sempatkan untuk klintong klintong (jalan jalan) di sepanjang jalan Sei Deli, Medan. Terus terang saya ada semacam ikatan batin dengan jalan ini. Karena tahun 2011 pernah tinggal selama 8 bulan di sebuah kost di jalan tersebut.
Tahun 2021 itu di bulan puasa, jadi sekitar awal Mei 2021. Saya bertandang ke rumah bapak Zainal Siregar, yang dulunya tempat langganan saya beli nasi goreng (nasgor). Warung masak nasi goreng ada di depan rumah. Yang ngegoreng bu Zainal sama (kadang dibantu) putri nomor 2 (dua). Tapi waktu saya berkunjung di bulan puasa itu sepertinya warung sudah tidak ada. Saya juga tidak menanyakan apakah karena sang putri udah ikut suami, jadi tidak ada yang membantu. Ataukah karena faktor usia sehingga si ibu tidak buka nasgor lagi. Entahlah.
Putra pertama pak Zainal masih single. Seingat saya dia alumni Hukum UMSU, Medan. Waktu saya datang, mereka bertiga (pak Zainal, ibu, dan putranya) sedang ngerjain semacam souvenir atau parcel kecil. Kondisi puasa cukup sejuk dan menyenangkan karena saya sebagai tamu tidak disajikan minuman pun camilan, apalagi makan besar. Kami ngobrol santai di ruang tamu.
Pak Zainal ini punya saudara yang dulu dulu terkenal dapat mukzizat tahun 2005. Kalau masih ada yang ingat tragedi 5 September 2005 pagi, pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines PK-RIM dengan nomor penerbangan RI-091, yang tak kuasa terbang dan jatuh di atas pemukiman penduduk Medan. Pesawat baru lepas landas dari Bandara Polonia, korbannya termasuk Gubernur Sumatra Utara saat itu, yakni Tengku Rizal Nurdin. Hanya ada satu orang yang selamat. Dialah adik kandung pak Zaenal Siregar ini.
Kami berbincang lebih dari setengah jam, seingat saya sebelum jam 10.30 WIB saya cabut. Karena persiapan balik hotel dan mau jumatan di dekat penginapan. Isi obrolan lebih banyak bertanya soal kabar tetangga tetangga dulu. Pak Rebo sudah almarhum, demikian pula istrinya. Pak ustadz Tamimi yang tiap Kamis ngisi pengajian yang lucunya poolll, juga sudah dipanggil ke haribaan-Nya. Beruntung saya masih ketemu pak Semo bahkan makan mie ayam bikinan dia di kedainya.
Sambil jalan pulang itu saya mengenang banyak hal. Dulu di bulan Desember 2011 saya mengadakan perpisahan dengan orang-orang penjual mie dan pedagang bakso itu. Omongan dan hirupan udara yang sering membuat kepala terhenyak. Mereka sangat menghargai saya sebagai orang baru yang belum lama tinggal (8 bulan), dan sebentar lagi pergi meninggalkan kota ini. Medan,
Delapan bulan di Medan menjadi kisah yang menorehkan batin tersendiri. Perpisahan dengan orang-orang yang mengejutkan tentang pemaknaan mereka akan proses "menjadi indonesia" .
PERTAMA adalah mBah Rebo. Jamaah dari masjid Al Muflihin yang seminggu di akhir 2011 jarang saya lihat di mesjid. Akhirnya dengan beberapa teman (bapak-bapak maksudnya) kami menjenguknya. Beliau adalah generasi pertama di sungai deli ini. Di tepian sungai deli --bagian utara ini- kebanyakan eksis orang Jawa dari Subosuka Wonosraten (Surokarto, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten). Yang paling gede warungnya adalah milik mas Parno --wong Karanganyar- yang mendirikan warung bakso "Panorama" di sepanjang sei deli. Pedagang bakso lainnya adalah pak Semo, pak Paino, dan pak Paimin.
Pak Rebo (70-an) ini asalnya dari Wonogiri, datang ke Medan sebelum Gestok 1965. Ternyata batuk-batuk yang selama ini diderita membuatnya absen dari jamaah. Jualan baksonya di depan rumah sakit PTPN (jalan putri hijau, depan kepolisian, samping Marriot) juga berhenti sepekan ini. Sudah puluhan tahun pak Rebo merantau ke Medan. Salah satu "anak didiknya" yang berguru tahun 1980 telah memiliki becak motor sendiri, becak motor bakso tentunya. Bapak itu, namanya pak Paino, jamaah Al Muflihin juga, aslinya dari nDayu, Sukoharjo.
Berbeda dengan kebanyakan dorongan bakso di Jawa yang cukup ditarik, kalau bakso di Medan dibuat seperti becak motor (bentor). Sepedanya ditaruh di samping, dihubungkan besi, sejajar sama baksonya. Kadang saya sering menghubungkan hal ini dengan sikap egalitarian wong Medan, atau kesejajaran di antara mereka. Ngomongnya bebas saja tanpa tedeng aling-aling. Cuman apesnya kalau becak yang sepeda (atau motornya, atau yang disebut dengan orang sini sebagai "keretanya") sistem sejajar kayak gini membikin... boros jalan. Mengambil porsi jalanan yang sedemikian besar, sehingga kalau bentor lewat jalanan jadi sempit. Mungkin analogi yang tepat juga untuk demokrasi. Boros biaya. Ketika semua orang dianggap sama pendapatnya. Ketika semua jadi sejajar.
KEDUA dengan pak Semo. Datang ke Medan tahun 1966, saat itu beliau seusia anak smp atau tepatnya drop out dari SD di Jumapolo. Dia mengaku telah mendatangkan 400an orang Karanganyar ke Medan. Kebanyakan menjadi penjual bakso atau mie ayam di kota "bestari" ini. Keempat ratus orang itu didatangkan sejak tahun 1970 s.d 1992. Begitu heroik dia bercerita pengalamannya saat naik kapal pertama kali --setahun sehabis Gestok- dari Tanjung Priok ke Medan. Dia datang dengan pamannya, dan ...copet-copet kapal yang ngaudubillah banyaknya.