Lihat ke Halaman Asli

Yuli Anita

TERVERIFIKASI

Guru

Tadarus (Sebuah Catatan Ramadan)

Diperbarui: 17 April 2021   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tadarus, Sumber gambar: NU online


Jamaah tarawih sudah membubarkan diri.  Pujian dan sholawatan tetap dikumandangkan meski tidak ada acara jabat tangan. 

"Eh, Bu Denok,  jangan pulang dulu, " kata Bu Silmi sambil membetulkan mukenahnya. 

Bu Denok memandang heran, "Ada apa, to? "

" Ayo darusan, " kata Bu Silmi sambil mengajak Bu Denok ke samping langgar.  Di sana sudah duduk tiga orang ibu dalam posisi jaga jarak.  Di depan masing-masing ibu ada dampar yang di atasnya terdapat sebuah Al Qur'an.

Tidak enak untuk menolak,Bu Denok mengangguk pada mereka seraya tersenyum dan segera mengambil tempat di salah satu dampar.

"Jadi begini Ibu-ibu,  mulai malam ini kita laksanakan tadarus khusus ibu-ibu.  Eman,  bulan puasa pahala kebaikan dilipatgandakan. Kalau kita mengaji,  pahala kita dihitung per huruf lho, " kata Bu Silmi bersemangat sambil terus menerangkan keutamaan tadarus di bulan puasa. Bu Silmi adalah orang yang paling disegani di antara ibu-ibu di kampung.

Mulailah malam itu darusan atau tadarus ibu-ibu dimulai.  Membacanya bergantian.  Satu membaca yang lain menyimak.  Setiap satu ruku' (satu ain) ganti yang lain yang membaca. Sesekali jika ada bacaan yang kurang tepat Bu Silmi mengingatkan. Setelah masing masing mendapat dua ruku' tadarus diakhiri supaya  pulangnya tidak terlalu malam. 

Tidak seperti yang lain yang membacanya sudah lancar Bu Denok masih tersendat-sendat.  Pleguk-pleguk kata orang Jawa.  Berkali-kali bacaannya dibenarkan dengan halus oleh Bu Silmi.  Ya,  Bu Silmi adalah yang paling fasih di antara mereka. 

Selesai tadarus, Bu Denok segera menuju rumah dengan Mbak Jum di sampingnya. Mereka searah.  Mbak Jum juga mengikuti tadarus. Berbeda dengan Bu Denok, bacaannya sangat lancar, tapi masih  sedikit di bawah Bu Silmi.

Mbak Jum langsung membuka percakapan, " Bu Denok,  kalau ngaji belum lancar ya,  dulu sampai Iqro' berapa?"

Bu Denok tersenyum malu. "Yah,  saya dulu tidak pakai Iqro', ngaji sendiri Mbak Jum,  sama bapak."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline