Bayangkan Anda bekerja di sebuah perusahaan yang sedang gencar menerapkan transformasi digital. Atas nama "IT Governance", manajemen tiba-tiba memutuskan membentuk sebuah struktur organisasi IT formal dan tertulis. Ada bagan hirarki, ada deskripsi jabatan, bahkan ada roadmap digitalisasi yang dibungkus rapi dengan istilah-istilah keren seperti Chief Digital Officer, IT Strategic Unit, dan lain sebagainya.
Terdengar canggih, bukan?
Tapi tunggu dulu. Apakah struktur formal itu benar-benar berguna, atau hanya pajangan birokratis yang memperlambat inovasi dan menyedot anggaran tanpa hasil nyata?
Saya memandang ide membentuk struktur organisasi IT formal dalam setiap organisasi sebagai sesuatu yang... terlalu romantis. Ini seperti percaya bahwa dengan mencetak denah rumah impian, maka rumah itu akan otomatis berdiri. Kenyataannya, struktur formal tanpa budaya, kompetensi, dan fleksibilitas adalah ilusi tata kelola.
Mari kita bongkar mitos-mitos di balik obsesi membentuk struktur organisasi IT formal.
Mitos 1: Struktur Formal = Kontrol yang Lebih Baik
Seringkali argumen yang diangkat adalah bahwa struktur formal akan memberikan kontrol yang lebih kuat terhadap implementasi IT. Akan ada jabatan-jabatan jelas, alur pelaporan terstruktur, dan wewenang yang tertulis.
Tapi kenyataan di lapangan berkata lain. Banyak organisasi dengan struktur IT formal justru kebingungan menentukan siapa yang benar-benar berwenang mengambil keputusan. Ketika sebuah unit ingin mengadopsi teknologi cloud, misalnya, mereka harus melalui 3-5 level persetujuan. Proses menjadi lambat, dan peluang digitalisasi pun lewat begitu saja.
Lebih parah lagi, struktur formal justru kerap dijadikan alat politik internal untuk memperkuat posisi segelintir orang. Jabatan-jabatan baru diciptakan bukan karena kebutuhan riil, tapi karena "orang ini perlu dipromosikan." Akibatnya, organisasi IT menjadi gemuk, lambat, dan mahal.