Lihat ke Halaman Asli

Yoza Fitriadi

Sang Penjejak

Lepas, Pisah, dan Wisuda

Diperbarui: 10 Juli 2020   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kau sebut itu pelepasan? Benar, karena memang ada yang dilepas. Bukan sekedar topi, dasi atau atribut. Melainkan juga status sebagai siswa dengan segala kenyamanan berseragam putih abu-abu yang elegan.

Kau sebut itu perpisahan? Tepat, karena memang ada yang berpisah. Tak hanya raga yang diberi jarak. Tapi juga segala memoar cerah berseling kelam yang ikut menguap dari muara sebab muasal.

Kau sebut itu wisuda? Pun tak salah, karena memang ada samir yang terpasang dengan nilai akhir studi yang digenggam. Tiga tahun perjuangan itu akhirnya terbayar lewat selembar ijazah tanda ketuntasan.

Semestinya ada upacara yang melepasnya, euforia yang menjadi tanda memisahkannya ataupun prosesi sakral tanda selesainya pelajaran di sekolah. Sirna, ditelan pandemic covid-19 yang enggan jua untuk berdamai.

Tak ada iringan band atau organ tunggal, berganti dengan sound system ala kadarnya sebaai backsound lagu penghantar. Orangtua pun tak diajak, hanya perwakilan satu atau dua dari seratusan wisudawan. Pun demikian dengan acara yang dirancang sederhana, menghindari keramaian berlebihan dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan dengan masker atau face shield dan menjaga jarak atau physical distancing.

Tapi percayalah, dua hari ini adalah moment yang sebenarnya tak kalah berkesan dengan tahun-tahun sebelumnya. Nuansa khidmat lebih terasa karena ruang kelas berhasil meredam cinta dan kasih sayang itu agar tak cepat menguap. Rintik kenangan yang perlahan menjalar lebih terasa, merambat pelan menghinggap sel-sel syaraf hingga pembuluh darah.

Seperti kata Fiersa Besari, bahwa perpisahan itu semanis atau seindah apapun tetaplah perpisahan. Ada cerita yang sejak detik itu harus berubah menjadi kenangan.

Lain lagi dengan kata Pidi Baiq lewat Dilannya. Bahwa perpisahan itu adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. Bukan perpisahannya yang menyedihkan, melainkan bila habis itu saling lupa lah yang lebih menimbulkan keperihan.

Hingga benar kata Tere Liye. Tak ada yang pergi dari hati, tak ada yang hilang dari kenangan. Ketika kita percaya bahwa tak ada satupun kehilangan yang direncanakan, maka selayaknya kita juga paham bahwa perpisahan pun demikian.

Selamat berpisah karena kalian telah dilepas wahai para wisudawan. Jangan sekalipun melupakan almamater ini. Karena sama seperti saat kalian bertanya mengapa aku tak suka timun, aku bingung dengan alasan apa harus kujawab.

Karena ada beberapa hal yang tak butuh alasan untuk dilakukan. Sama halnya dengan tak perlu alasan untuk menggantungkan rindu pada Smekta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline