Lihat ke Halaman Asli

Yosua Beza

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAKARTA

Adaro Energy: Ketika 'Green Initiative' Berbenturan Dengan Realitas Batubara

Diperbarui: 3 Oktober 2025   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mengapa klaim transformasi hijau perusahaan batubara terbesar Indonesia ini menuai kritik keras dari aktivis lingkungan?

Bayangkan sebuah perusahaan yang dengan bangga mengklaim sedang bertransformasi menjadi "lebih hijau", namun di saat bersamaan terus membangun pembangkit listrik batubara baru. Itulah yang terjadi dengan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), salah satu produsen batubara terbesar di Indonesia yang kini tengah berada di pusaran kontroversi greenwashing.

Narasi Hijau di Tengah Ekspansi Batubara

Sejak 2021, Adaro gencar mempromosikan "Adaro Green Initiative" sebagai pilar bisnis kesembilan mereka. Melalui kampanye ini, perusahaan mengklaim akan mengembangkan energi terbarukan seperti solar panel, biomassa, dan PLTA. Bahkan, mereka mengusung slogan "Transforming Into A Bigger And Greener Adaro" yang terdengar sangat meyakinkan.

Namun, di balik narasi hijau yang gemerlap ini, realitas di lapangan bercerita lain. Adaro justru melanjutkan ekspansi tambang batubara di Kalimantan dan membangun PLTU captive di Kalimantan Utara untuk mendukung smelter aluminium mereka. Ironisnya, aluminium yang diproduksi dengan energi batubara ini diberi label "green aluminium" dengan alasan akan beralih ke PLTA pada 2030. " Ini seperti mengecat tembok rumah dengan warna hijau, lalu mengklaim rumahnya ramah lingkungan," komentar seorang aktivis lingkungan yang meminta tidak disebutkan namanya.

Jejak Kelam di Balik Klaim Hijau

Kritik terhadap Adaro bukan tanpa alasan. WALHI Kalimantan Selatan mencatat berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkan operasi perusahaan ini, mulai dari penggusuran warga hingga dugaan kontribusi terhadap banjir besar Kalsel 2021 yang menewaskan 24 orang dan mengungsikan lebih dari 113.000 warga.

Desa Wonorejo, misalnya, kini telah hilang dari peta karena berubah menjadi kolam pengendapan batubara. Belum lagi laporan berulang tentang pencemaran sungai, seperti yang terjadi di Sungai Balangan di Paringin yang menyebabkan ikan keramba mati massal.

Data dari berbagai LSM menunjukkan bahwa konflik pertanahan terus bermunculan di area operasi Adaro, termasuk di Tabalong dan berbagai wilayah lain di Kalimantan Selatan. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara klaim tata kelola lingkungan yang "baik" dengan pengalaman riil masyarakat terdampak.

Reaksi Keras dari Berbagai Pihak

Praktik komunikasi yang dinilai menyesatkan ini tidak luput dari sorotan berbagai pihak. Dalam RUPS 2023, aktivis bahkan nekat menyusup untuk menentang pembangunan PLTU baru dengan membentangkan banner "STOP PEMBANGUNAN PLTU BARU".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline