Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Disabilitas, Aksesibilitas, dan Absurditas

Diperbarui: 23 Desember 2020   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi difabel. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

"Dari segi kompetitif, mereka memang sangat kompetitif, tapi mereka seharusnya juga bersiap untuk membaur dengan masyarakat. Terus berkumpul dengan teman-teman "senasib" hanya akan membuat mereka jadi bonsai atau kaktus dalam pot."

Judul di atas adalah kata-kata yang cukup merangkum pengalaman saya sebagai seorang penyandang disabilitas di dunia kerja. Bukan, ini bahkan sudah dimulai sejak masa sekolah.

Hidup sebagai seorang difabel, yang kerap sendirian di antara orang "normal", jujur saja memberi saya banyak cerita. Tapi, sebelumnya saya minta maaf jika cerita ini terlalu "jujur".

Selama bertahun-tahun, saya menjalani situasi yang membuat orang merasa agak aneh di awal. Saya kerap bersikap tak biasa, menurut kacamata mereka yang "normal". Misalnya, mengerjakan soal ujian tertulis dengan jawaban singkat, tidak berjalan di trotoar, atau datang terlalu awal di sebuah acara pertemuan.

Untuk hal yang disebut pertama, saya ingat, saya pernah sekali waktu ditegur dosen, dan hampir saja didamprat, andai tak menjelaskan kondisi saya secara detail. Jelas, saya sudah mendapat akses untuk kuliah dan ujian, dengan waktu dan hak sama dengan yang lain, termasuk soal waktu mengerjakan.

Saat itu saya memilih untuk menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku, tanpa merengek minta tambahan waktu ekstra, karena saya masih bisa mengerjakan semua soal tanpa masalah berarti. Jangan sampai satu orang membuat kacau semua orang.

Cara pikir sama juga berlaku pada saat saya punya janji temu, atau ada acara semacamnya. Datang lebih awal, minimal sebelum batas waktu keterlambatan, menjadi cara terbaik menyiasati kekurangan saya. Karena gerakan saya lebih lambat, saya perlu memulai lebih awal.

Soal tidak berjalan di trotoar, saya biasa melakukannya, jika trotoar tersebut naik turun tanpa pegangan. Dengan kelainan syaraf motorik bawaan yang saya punya sejak lahir, taruhan cedera karena jatuh dari trotoar terlalu mengerikan untuk dibayar.

Bukan karena saya punya cadangan nyawa, tapi karena fasilitas umum yang tersedia didesain untuk mereka yang "normal", tapi kadang tak bisa diakses penyandang disabilitas. Jadi, mengakses fasilitas publik yang tidak bisa diakses difabel tak ubahnya menyalakan lampu saat listrik padam.

Buat apa diakses jika tak bisa diakses?

Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pertemanan, adaptasi sederhana seperti ini memang penting, karena inilah kunci penerimaan paling dasar. Dari sinilah saling pengertian bisa dibangun, karena keterbatasan fisik tak lagi jadi masalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline