Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Panja Jiwasraya, Obat Gatal untuk Kanker

Diperbarui: 22 Januari 2020   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Jiwasraya. Foto: KOMPAS.id/Priyombodo

Dorongan pembentukan panitia khusus (pansus) skandal Jiwasraya menthok. Partai Demokrat dan PKS tidak mampu melawan dominasi partai-partai koalisi pemerintah. Untuk "hiburan", sekaligus melokalisir isu, DPR membentuk panitia kerja (panja).

Ada dua lanskap yang harus dikedepankan sebelum menyimpulkan perlu-tidaknya pansus, ataukah hanya cukup melalui panja, terhadap skandal Jiwasraya.

Pertama, potensi kerugian perusahaan asuransi plat merah itu, yang menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin mencapai Rp 13,7 triliun. Jika dibandingkan dengan skandal lain, semisal Bank Century, jumlahnya luar biasa besar karena nyaris dua kali lipat.

Bahkan sampai saat ini, potensi kerugian negara dari Jiwasraya berada di urutan pertama, disusul Asabri (Rp 10 triliun), Bank Century (Rp 7 triliun), Pelindo, Izin tambang Kotawaringin Timur, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) warisan Soeharto , hingga e-KTP dan proyek Hambalang yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp 706 miliar.

Dari kasus-kasus tersebut, DPR pernah membentuk pansus untuk BLBI dan Bank Century yang terjadi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kedua, fungsi serta kedudukan pansus dan panja. Pansus dibentuk melalui paripurna DPR dan bersifat lintas komisi. Dengan demikian, pansus dapat meminta keterangan kepada semua pihak yang terkait dan diduga terkait dengan suatu kasus yang menjadi objek.

Sedang panja cukup dibentuk oleh komisi di DPR dengan anggota dari komisi bersangkutan. Panja Jiwasraya dibentuk oleh Komisi XI. Namun belakangan Komisi VI ikut-ikutan membentuk panja.

Karena dibentuk oleh komisi maka kewenangan untuk mencari data dan keterangan juga sangat terbatas yakni hanya terhadap lembaga atau instansi yang menjadi mitra kerjanya. 

Hal ini juga yang dijadikan alasan Komisi VI ikut membentuk panja karena kewenangan Komisi XI terbatas pada lingkup kementerian/lembaga keuangan. Sementara Komisi VI bisa menjangkau BUMN.

Hasil temuan panja, yang dirumuskan dalam bentuk rekomendasi, diserahkan ke pimpinan DPR. Fakta membuktikan, banyak rekomendasi panja yang "berhenti" di tingkat pimpinan DPR seperti rekomendasi Panja Outsourcing di periode lalu.

Jika pun diteruskan kepada pemerintah, belum tentu juga dilaksanakan mengingat rekomendasi panja tidak memiliki konsekuensi politik, apalagi hukum. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline