Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Cerita Mahfud MD yang Membingungkan

Diperbarui: 16 Desember 2019   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahfud MD. Foto: KOMPAS.com/Kristian Erdianto

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Prof. Mahfud MD menyebut Partai Golkar tidak setuju ketika Joko Widodo dalam kapasitas sebagai calon presiden di Pilpres 2019 menunjuk dirinya sebagai calon wakil presiden.  Adakah motif lain di luar fakta sebenarnya?

Atas pertanyaan KOMPAS.com terkait Golkar sebagai salah satu partai yang menolak dirinya menjadi cawapres mendampingi Jokowi, Mahfud mengatakan mendengar hal itu dari Akbar Tandjung- mantan ketua umum Partai Golkar.  Alasannya karena dirinya setuju dengan dekrit yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid tanggal 23 Juli 2001 tentang pembubaran MPR/DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun dan membekukan Partai Golkar.  

Dalam buku terbitan tahun 2003, Mahfud sudah menjelaskan hal itu. Bahkan dirinya menentang keras rencana dekrit pembubaran Partai Golkar karena situasiya berbeda dengan ketika Presiden Soekarno membubarkan partai politik. Saat itu Bung Karno didukung penuh tentara dan polisi, hal yang tidak didapat oleh Gus Dur.  

Namun setelah dekrit keluar, Mahfud mengakui, dirinya dalam kapasitas sebagai anggota kabinet ikut mendukung dan membela Gus Dur.

Pernyataan Mahfud yang membenarkan bahwa Golkar tidak setuju dirinya menjadi cawapres Jokowi di Pilpres 2019 cukup membingungkan. Sebab konstelasi politik saat itu tidak menempatkan Golkar di antara Mahfud dan Jokowi. Justru Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dengan dukungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang terang-terangan menentang keputusan Jokowi.

Belakangan PPP ikut mendukung langkah PKB karena yang diajukan sebagai penggantinya adalah KH Ma'ruf Amin, yang saat itu menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).  Sejak awal PPP memang telah mengajukan nama Ma'ruf yang merupakan mantan kadernya.

Mengapa kini Mahfud membenarkan keterlibatan Golkar terkait kegagalannya menjadi cawapres?  Rasanya janggal jika hal itu tidak memiliki tujuan tertentu. Bagaimana pun Mahfud kini berada di lingkar kekuasaan sehingga tentu paham setiap langkah dan ucapannya akan membawa dampak politik.

Jika menilik situasi politik saat ini yang kondusif baik di internal maupun eksternal Istana, Mahfud kemungkinan sedang melakukan misi pribadi dalam rangka memperkuat posisinya yakni mendapat dukungan penuh dari PKB dan NU. Bukan rahasia lagi, di awal pembentukan Kabinet Indonesia Maju, PKB dan NU tidak mengakui keberadaan Mahfud  sebagai representasi Nahdliyin.

Dengan menjadikan Golkar sebagai pihak yang menggagalkan pen-cawapres-annya, Mahfud berharap ganjalan hubungannya dengan PKB dan PPP, terutama PBNU yang pernah tidak mengakui ke-NU-annya, dapat benar-benar dihilangkan.

Tetapi, jika benar demikian, langkah Mahfud ibarat melepas punai di tangan demi  elang di angkasa. Sebab di PKB- mungkin juga NU, Mahfud sudah terlanjur identik dengan faksi loyalis Gus Dur yang berseberangan dengan Muhaimin dan kawan-kawan. Bahkan nyaris tidak ada lagi trah Gus Dur, baik biologis maupun ideologis, yang berada di kepengurusan PKB saat ini.  

Jika terjadi perubahan konstelasi politik yang memaksa Presiden Jokowi untuk menghitung ulang suara partai politik pendukungnya, Mahfud berpotensi menjadi "anak hilang" karena tidak mendapat dukungan dari PKB, PPP dan Golkar.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline