Generasi Z kini mulai mendominasi dunia kerja. Mereka datang dengan cara pandang baru, terutama soal fleksibilitas. Namun, apakah pola pikir ini bisa sejalan dengan tuntutan produktivitas yang ada di perusahaan?
Fleksibilitas: Sebuah Kebutuhan, Bukan Sekadar Tren
Bagi Gen Z, fleksibilitas bukan hanya soal bisa bekerja dari rumah. Lebih dari itu, fleksibilitas dipandang sebagai bentuk penghargaan terhadap well-being. Jam kerja kaku 9-to-5 sering kali dianggap kurang relevan.
Selama target tercapai, Gen Z menilai cara dan waktu bekerja seharusnya bisa lebih luwes. Bahkan, laporan Deloitte Global 2024 menyebutkan, 49% Gen Z lebih memilih perusahaan yang menawarkan sistem remote atau hybrid working dibanding gaji tinggi di lingkungan yang kaku.
Produktivitas: Tuntutan yang Tak Bisa Dielakkan
Di sisi lain, perusahaan tetap memegang standar produktivitas. Masalah muncul ketika ekspektasi fleksibilitas Gen Z bertabrakan dengan cara lama mengukur kinerja: jam kerja panjang, kedisiplinan konvensional, hingga kehadiran fisik.
Banyak pimpinan menilai Gen Z mudah bosan atau kurang tahan banting. Padahal, produktivitas bagi mereka bukan soal lama duduk di meja kerja, melainkan hasil nyata yang berdampak.
Pergeseran Budaya Kerja
Fenomena ini mendorong perubahan budaya. Startup cenderung lebih adaptif dengan sistem output-based performance (fokus pada hasil), sedangkan perusahaan tradisional masih setia pada metode lama.
Tanpa komunikasi yang baik, gesekan antar-generasi bisa terjadi. Atasan yang lebih senior merasa nilai loyalitas terabaikan, sementara Gen Z merasa dikekang.