Lihat ke Halaman Asli

Green Trade: Antara Globalisasi dan Keberlanjutan Lingkungan

Diperbarui: 27 April 2025   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Globalisasi ekonomi adalah proses meningkatnya interdependensi antara negara-negara dan masyarakatnya. Seiring dengan perkembangan zaman, negara-negara dan masyarakat internasional menjadi semakin terhubung. Individu, pemerintah, perusahaan, dan negara saling berinteraksi dan mempengaruhi terlepas dari batas-batas geografis. Globalisasi ini dicapai melalui pemanfaatan teknologi serta aktivitas perdagangan dan investasi di tingkat internasional. Barang, jasa, modal, bahkan tenaga kerja kini dapat berpindah lintas batas negara dengan lebih cepat dan efisien. Perusahaan multinasional berlomba lomba memperluas operasi mereka ke berbagai benua. Sementara itu, konsumen di satu negara dapat dengan mudah mengakses produk yang diproduksi ribuan kilometer jauhnya. Globalisasi ekonomi tidak hanya berdampak pada pertumbuhan perdagangan internasional, tetapi juga membentuk dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik di banyak negara. Globalisasi dapat membangun struktur ekonomi dan sosial negara-negara dan perekonomian yang sedang berjuang melalui perdagangan bebas. 

Meskipun globalisasi telah membawa pertumbuhan ekonomi, globalisasi juga membawa dampak terhadap lingkungan yang tidak bisa diabaikan. Semakin terhubungnya pasar global mendorong peningkatan produksi massal dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Banyak perusahaan yang melakukan produksi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Produksi yang tidak mempertimbangankan keberlanjutan lingkungan seringkali mengakibatkan deforestasi, polusi air dan udara, serta degradasi tanah. Beberapa dari mereka mengalihkan prpduksinya ke negara dengan regulasi terkait lingkungan yang longgat. Globalisasi juga mempercepat pola konsumsi yang gilirannya menyebabkan peningkatan limbah industri dan konsumsi energi yang masif. Selain itu, arus perdagangan antarnegara, terutama melalui transportasi jalur laut dan udara, menghasilkan emisi karbon yang memperburuk pemanasan global dan perubahan iklim.

Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan isu lingkungan semakin meningkat secara global. Isu lingkungan yang muncul meningkatkan kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Perubahan iklim, deforestasi, polusi, dan menurunnya biodiversity menjadi isu global yang tak lagi bisa disangkal. Masyarakat internasional kini semakin sadar bahwa pertumbuhan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan keberlanjutan akan membawa bencana ekologis. Kesadaran ini tidak hanya tercermin dalam kebijakan publik dan aktivisme masyarakat, tetapi juga mulai mempengaruhi pola perdagangan internasional.

Dari kesadaran inilah lahir konsep green trade. Green trade merujuk pada praktik perdagangan yang ramah lingkungan. Green trade didasarkan pada sebuah gagasan bahwa perdagangan global seharusnya tidak hanya berorientasi pada efisiensi dan profit, tetapi juga bertanggung jawab terhadap dampak lingkungannya. Green trade menuntut agar barang dan jasa yang diperdagangkan di pasar global diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi dengan mempertimbangkan prinsip keberlanjutan. Prinsip ini meliputi pengurangan jejak karbon, penggunaan energi terbarukan, hingga pengelolaan limbah yang bertanggung jawab.

Norma baru dalam perdagangan internasional 

Munculnya green trade menandai pergeseran norma dalam sistem perdagangan internasional. Negara-negara maju, khususnya di Eropa, mulai mengambil langkah konkret untuk mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam kebijakan perdagangannya. Salah satu inisiatif yang dilakukan adalah penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa. Mekanisme ini bertujuan untuk mencegah carbon leakage dengan cara mengenakan pajak karbon pada produk impor berdasarkan jumlah emisi yang dihasilkan selama proses produksinya. Dengan kata lain, produk dari negara yang standar lingkungannya lebih rendah akan dikenakan biaya tambahan saat memasuki pasar Eropa. Bisa dikatakan bahwa CBAM juga ditujukan untuk mendorong produksi industri yang lebih ramah lingkungan di negara-negara non-Uni Eropa. CBAM mulai memasuki fase transisi pada tahun 2023 dan akan berlaku penuh pada tahun 2026.

Dalam tingkatan domestik, Uni Eropa juga menerapkan Emissions Trading System (ETS). ETS yang diluncurkan pada tahun 2005, merupakan sistem perdagangan emisi terbesar di dunia dan berfungsi dengan prinsip cap-and-trade. Melalui mekanisme ini, pemerintah menetapkan batas maksimal (cap) untuk total emisi yang dapat dihasilkan oleh sektor-sektor tertentu, seperti energi, industri manufaktur, dan penerbangan. 

Langkah serupa juga terlihat dalam perjanjian perdagangan bebas antara Uni Eropa dan Selandia Baru (EU-NZ FTA). Dalam perjanjian ini, kedua pihak tidak hanya berkomitmen terhadap liberalisasi perdagangan, tetapi juga mengikat diri pada prinsip keberlanjutan lingkungan termasuk komitmen untuk mencapai target-target Perjanjian Paris. Hal ini mencerminkan pendekatan baru dalam diplomasi perdagangan yaitu keberlanjutan bukan lagi sekadar retorika, melainkan bagian integral dari persyaratan hubungan dagang.

Apakah mungkin mewujudkan Green Trade dalam tatanan globalisasi ekonomi yang kompetitif dan didominasi pasar bebas?

Globalisasi memberikan berbagai kemudahan dalam perdagangan internasional, menciptakan aliran barang dan jasa yang lebih bebas serta meningkatkan permintaan pasar. Globalisasi memang membawa banyak manfaat, tetapi juga menimbulkan konsekuensi lingkungan yang tidak diinginkan. Konsekuensi ini meliputi peningkatan emisi gas rumah kaca, polusi air dan udara, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, serta kerusakan ekosistem.

Pada era globalisasi, perusahaan berlomba lomba mendapatkan keuntungan dengan menekan efisiensi produksi guna memenuhi permintaan pasar. Proses produksinya seringkali dilakukan tanpa memperhitungkan faktor lingkungan. Tidak jarang perusahaan mengalihkan produksinya ke lokasi dengan regulasi yang longgar dan biaya rendah. Outsourcing, offshoring, dan supply chain global dibangun di atas asumsi bahwa menekan efisiensi biaya adalah tujuan utama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline