Lihat ke Halaman Asli

Yasintus Ariman

Guru yang selalu ingin berbagi

Menelusuri Tabiat Sukarelawan dan Caleg Menjelang Pesta Demokrasi

Diperbarui: 15 Februari 2019   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Munculnya sukarelawan politik dalam pesta demokrasi memberi warna tersendiri. Hemat saya relawan politik ini muncul sebagai bentuk  kesadaran dan tanggungjawab warga dalam berpolitik. Manakala ada tokoh yang memiliki kualitas dan integritas yang baik, secara spontan masyarakat mengorganisasikan diri untuk membentuk kelompok guna mendukungnya.

Sebut saja Sahabat Ahok, Relawan AhokJarot, Sahabat Jarot dan mungkin saja masih ada kelompok relawan lain yang bekerja secara sembunyi-sembunyi sehingga  tidak dikenal secara luas. Untuk kelancaran aktivitas, mereka giat menggalang dana dan mencari dukungan.

Memang ada begitu banyak cara yang dilakukan para relawan agar calon yang didukungnya bisa duduk di tempat terhormat. Sudah barang tentu mereka tidak bekerja secara gratis. 

Ada ongkos yang harus mereka dapatkan entah itu dari para pendonor maupun  yang berasal dari para calon. Semuanya bersembunyi dibalik slogan "kami memilih karena kualitas bukan karena uang". Kenyataan ini sudah menjadi rahasia umum. "Hari gini, mana ada yang gratis". Masyarakat umumnya sudah tahu tentang itu. Dan seakan semuanya merupakan hal yang lumrah.

Di sinilah para sukarelawan itu mulai menimbang-nimbang mana calon yang memberikan bayaran yang besar dan siapa calon yang memberikan bayaran yang kecil. Relawan yang rakus akan selalu siap menerima siapa saja untuk dipromosikan tidak peduli teman atau pun lawan politik. Tugasnya sederhana yakni membagikan kartu serta memasang baliho di setiap  kampung.

Maka tidaklah mengherankan jika ongkos politik membengkak menjelang pesta demokrasi. Para calon bersedia merogo kocek sedalam-dalamnya demi meraih kemenangan. Militansi para relawan membuat para calon begitu yakin bakal menang di wilayah atau kampung tertentu.

Optimisme seperti ini juga bukan lagi hal baru. Ia sudah menjadi lagu lama yang senantiasa dinyanyikan oleh para relawan yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk menambah penghasilan. Masyarakat yang mengerti hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Masyarakat tahu mana sukarelawan yang memang kerja tulus untuk kandidatnya dan mana sukarelawan yang hanya ingin memeras para calon. Semua tentu memiliki argumentasinya masing-masing. 

Hal ini jarang diketahui oleh para calon. Kalau pun tahu, mereka enggan mempersoalkannya. Karena kalau mereka menuntut sukarelawan yang nakal maka boroknya pun ikut terbongkar, yakni tuduhan politik uang.

Fatalnya masyarakat umumnya seakan membiarkan semuanya terjadi. Masyarakat kecil hanya ingin meraih keuntungan sesaat dari para calon. Sebab setelah itu mereka akan  dilupakan. Masyarakat menyadari hal itu namun tidak berdaya untuk bersuara.

Situasi ini terjadi di wilayah-wilayah pedalaman di Nusa Tenggara Timur. Saat ini para caleg dan juga relawannya sibuk mencari dukungan. Metode blusukan ala Jokowi mulai diterapkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline