Lihat ke Halaman Asli

Yaqut Elok

mahasiswa

Pengaruh Kesehatan Mental Siswa di Masa Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Perkembangan Psikososial Erikson

Diperbarui: 17 April 2021   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK) UIN WALISONGO SEMARANG

Oleh: Yaqut Elok Romlah Faiqoh (1903016060)_PAI 4B

A.Pendahuluan
         Sejak bulan maret 2020, pandemic Covid-19 melanda Indonesia, sejak saat itu pula kegiatan-kegiatan yang mengupulkan banyak orang seperti kegiatan belajar mengajar harus dilakukan di rumah atau yang lebih dikenal dengan system pembelajaran jarak jauh (PJJ) bagi seluruh siswa di Indonesia. Kebijakan pembatasan sosial yang dilakukan ini menimbulkan berbagai dampak bagi para guru, siswa, dan orang tua di seluruh Indonesia. Karena kebijakan yang di keluarkan pemerintah tersebut, banyak orang akan lebih lama menghabiskan waktunya di dalam rumah, dalam jangka waktu yang lebih lama dari kebiasaan sehari-harinya. 

          Mengutip dari Dwija Cendekia: Jurnal Riset Pedagogik How E-Learning Affects Students' Mental Health During Covid-19 Pandemic: An Empirical Study, Vol.4, No.1, Agustus 2020, menyebutkan bahwa:

"Survey yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan 1.700 responden. Hasil survey menunjukkan dari 1.700 responden, sebanyak 77,8% responden menyatakan bahwa adanya tugas yang menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit. Sedangkan 37,1% responden mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan. Sebanyak 42,2% responden menyatakan tidak memiliki kuota internet dan 15,6% responden tidak memiliki fasilitas yang memadai seperti laptop atau handphone yang spesifikasi memadai untuk belajar daring. Survey juga menghasilkan bahwa interaksi antara guru dan siswa hanya sebesar 20,1% dan itu hanya sebatas pemberian tugas dari guru ke siswa. Sebanyak 79,9% responden menyatakan, interaksi belajar mengajar seperti pada ruang kelas sudah hilang. Tidak ada interaksi belajar seperti tanya jawab dan penjelasan materi dari guru (Fatimah, 2020, 115-116)."

          Pandemic Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik namun juga kesehatan mental seseorang menjadi rentan. Siswa yang mengalami perubahan drastis dalam proses pembelajaran juga rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Fase-fase krisis psikososial dilalui siswa dalam menjalani pola kehidupanya di rumah. Oleh karena itu, didalam essay ini penulis akan membahas pengaruh kesehatan mental siswa dimasa pandemi, dengan menguraikannya menggunakan teori perkembangan psikososial oleh Erik Homburger Erikson.

B.Pembahasan
          Selama pandemic Covid-19, pembelajaran diakukan secara daring, hal ini dapat membatasi siswa untuk beraktifitas dan berinteraksi sosial, sehingga mengakibatkan dampak yang kurang baik terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Akibat pandemic  Covid-19 ini memberikan banyak tekanan pada anak-anak, remaja dan keluarga mereka sehingga dapat mengakibatkan kesusahan, masalah kesehatan mental hingga kekerasan. Dengan adanya pembatasan aktivitas belajar siswa dirumah, tentu mereka mengalami perubahan yang drastis terkait dengan aktivitas normal di sekolah. Padahal aktivitas sekolah merupakan sarana untuk belajar dan bermain bagi siswa. Dan sejak adanya pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ), beragam aktivitas tersebut menjadi harus dilakukan di rumah bersama angota kelurga dan orang tua mereka. Dampaknya, siswa kehilangan waktu bermain dan belajar bersama dengan teman di sekolah dikarenakan terbatasnya kesempatan untuk berkunjung ke area bermain, dan lainnya. Hal ini bisa menjadikan mereka berpikir negative, cenderung merasa khawatir dan tertekan. Sehingga mnyebabkan terganggunya kesehatan mental siswa.

           Kesehatan mental merupakan komponen utama dalam perkembangan anak yang mampu mendorong anak-anak untuk belajar, tumbuh, dan menjalani kehidupan yang sehat dan produktif. Kesetahan mental mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial setiap individu. Sehingga memengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertindak. Kesehatan mental juga membantu menentukan bagaimana dalam menangani stres, berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan. Kesehatan mental penting di setiap tahap kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa (Fatimah, 2020:117). 

        Teori perkembangan psikososial merupakan salah satu kajian teori dalam psikologi perkembangan. Teori ini dikemukaan oleh Erik Homburger Erikson. Definisi perkembangan psikososial adalah perkembangan yang berkaitan dengan emosional, motivasi, dan perkembangan pribadi manusia serta perubahan dalam cara individu berinteraksi dengan orang lain. Menurut teori Erikson, diketahui bahwa ada 8 (delapan) fase perkembangan atau krisis psikis dan mereka menjadi yang paling menonjol pada waktu yang berbeda sepanjang masa hidup. Fase perkembangan tersebut adalah (Thahir, 2018:32):

  1. Infancy (0-1 th). Tahap pertama Trust vs Mistrust, mengandung kemampuan dasar "harapan";  
  2. Masa anak awal (1-3 th), tahap kedua Autonomy vs Shame and Doubt, mengandung kemampuan dasar "hasrat";
  3. Usia Bermain (3-6 th), tahap ketiga Initiative vs Guilt, mengandung kemampuan dasar "tujuan";
  4. Usia Sekolah (6-12 th), tahap keempat Industry vs Inferiority, mengandung kemampuan dasar "kompetensi";
  5. Remaja (12-19 th), tahap kelima Identity vs Confusion, mengandung kemampuan dasar "ketaatan";
  6. Dewasa awal (20-25 th), tahap keenam Intimacy vs Isolation, mengandung kemampuan dasar "kasih";
  7. Dewasa (26-64 th), tahap ketujuh Generativity vs Stagnation, mengandung kemampuan dasar "peduli"; dan
  8. Usia lanjut (65-meninggal), tahap kedelapan Ego Integrity vs Despair, mengandung kemampuan dasar "bijaksana".

          Pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia tidak terlepas dari teori perkembangan psikososial. Pendidikan formal di Indonesia terbagi dalam beberapa jenjang. Atas jenjang-jenjang tersebut usia siswa menjadi tolok ukur pada tingkat mana siswa diperkirakan jenjang studinya.

          Menurut penulis, jika dilihat menurut teori erikson, dapat diketahui ada dua fase atau masa yang akan dibahas pada essay ini. Pertama, Masa Sekolah/School Age (6-12 th), ditandai adanya kecenderungan industry--inferiority. Dimana inisiatif anak membawa mereka berhubungan dengan banyak pengalaman baru. Anak mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Anak lebih aktif belajar, namun karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya terkadang anak menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan yang dapat menyebabkan anak merasa rendah diri. Kedua, masa remaja yaitu remaja (12-19 th). Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity -- Confusion. Pada masa ini individu dihadapkan pada penemuan jati diri, tentang siapa mereka sebenarnya, kemana mereka akan melangkah dalam hidup ini, banyak peran baru dan status kedewasaan, pekerjaan hingga asmara.

          Pada masa pandemic Covid-19, kecenderungan siswa yang terbiasa "nyaman" dengan pergaulan teman sebayanya menjadi berubah secara total untuk bergaul dengan keluarga dalam keseharianya (Nehru, 2020:7). Diketahui bahwa, dengan adanya pembelajaran daring, pembelajaran yang semula terkontrol oleh guru, menjadi terkontrol oleh keluarga. Perbedaan yang sangat drastis ini dirasakan oleh siswa, ketika belajar tatap muka secara langsung, lingkungan dan suasananya kelas menjadi lebih berwarna. Sedangkan pembelajaran daring menciptakan atmosfer lingkungan baru untuk belajar bersama keluarga. Namun jika terlalu lama, hal ini dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman bagi aktivitas sosial mereka. Sehingga anak-anak dan remaja rentan untuk mengalami tekanan psikologi dan gangguan kesehatan mental.
Menurut penulis, solusi yang dapat dilakukan yaitu, dalam proses pembelajaran daring seharusnya mengajak anak, guru dan orang tua untuk saling berkolaborasi dalam menciptakan atmosfer yang ramah dalam proses pembelajaran. Penanganan masalah ini berbeda-beda tergantung masa anak dan remaja tersebut. Untuk masa sekolah (School Age), salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Orang tua adalah faktor yang mempengaruhi motivasi anak dalam belajar. Sehingga perlu adanya rasa empati atas orang tua terhadap anak dan  anak terhadap orang tua (Nehru, 2020:8). Ketika pembelajaran daring, orang tua dapat memantau perkembangan pembelajaran siswa melalui interaksi mereka terhadap guru pengajar. Sedangkan untuk guru pengajar, dapat menyajikan pembelajaran online yang menarik dan menyenangkan sehingga menciptakan suasana yang ramah dalam proses KBM. Erikson percaya bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan keaktifan anak. Guru harus "dengan lembut tetapi tegas mengajak anak ke dalam petualangan menemukan bahwa seseorang dapat belajar mencapai sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline