Lihat ke Halaman Asli

Budiyanti

Seorang pensiunan guru di Kabupaten Semarang yang gemar menulis dan traveling. Menulis menjadikan hidup lebih bermakna.

Mitoni (Tujuh Bulanan), Tradisi yang Hampir Pudar

Diperbarui: 12 November 2022   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GKR Hemas sedang melakukan upacara tingkeban, atau mitoni, di Pendapa Dalem Kilen, Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Selasa (18/6/2019). (KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO)

Saat saya mengandung 7 bulan anak pertama tiga puluh tahun lalu, masih mengadakan acara Mitoni, sebuah tradisi yang dilakukan kala usai kandungan mendekati usia delapan bulan.

Saat itu saya menjalani berbagai ritual di rumah Ibu, Ungaran. Ibu membantu segalanya saat acara sederhana tersebut. Dengan dibantu seorang Mbah yang biasa mengurusi bayi, ritual dilaksakan. Awalnya saya dimandikan dengan air bunga warna-warni. 

Selanjutkan saya berganti kain jarit yang jumlahnya tujuh. Wah... lupa jenis kainnya. Yang saya ingat setelah ganti kain jarit itu Mbah duku bayi, menggelidingkan telur dari perut hingga jatuh. Jika pecah, pertanda anaknya laki-laki. Tetapi jika tidak maka anaknya perempuan.

Saya pun lupa pecah atau tidak. Yang jelas anakku yang pertama berjenis kelamin lelaki. Ritul lainnya yang saya ingat adalah suami membelah kelapa gading.

Selain ritual itu ada selamatan yang dihadiri para tetangga dengan tujuan berdoa agar sang jabang bayi beserta ibunya bisa melahirkan dengan selamat.

Itulah kisah yang sudah lama sekali. Kini si anak sudah berkeluarga. Kini saat anak menantu yang kedua sedang mengandung anak pertama dengan usia kandungan tujuh bulan juga mengadakan acara mitoni atau kita menyebutnya tujuh bulanan. Atas kehendak suaminya, acara mitoni tidak dengan tradisi seperti saya dulu. Katanya ingin praktis tidak ribet. 

Sebenarnya saya selaku orangtua ingin nguri-nguri tradisi tersebut. Namun, hal itu kurang ditanggapi. Ya, sudah sebagai orangtua hanya bisa manut. Intinya kami berdoa kepada Allah agar proses kelahiran berjalan lancar dan bayi lahir dengan sehat serta selamat. Ibunya juga diberi kesehatan dan keselamatan.

Dokumen pribadi 

Akhirnya kami selamatan dengan mengundang para tetangga. Kami pun memesan menu yang juga lebih praktis dari pada memasak (hehe malas memasak kali, ya). Zaman sekarang cari yang mudah simpel dan praktis. Rumah tidak kotor. Hahaa lagi-lagi ini mungkin alasan saja. Tepat puku 15.00 kami tinggal mengambil makanan. 

Dokumen pribadi 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline