Lihat ke Halaman Asli

Teguh Hariawan

TERVERIFIKASI

Traveller, Blusuker, Content Writer

S17, Fosil Tengkorak "Masterpiece"-nya Sangiran yang Hebohkan Dunia

Diperbarui: 24 Maret 2018   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dok. pribadi)

S17, merujuk pada kata Sangiran dan 17. Artinya, penemuan fosil tengkorak di Sangiran urutan  ke-17. Ini bukan sembarang fosil. Jika fosil lainnya kebanyakan berupa tempurung kepala, fosil S17 memberi lebih. Wujud fosil S17  relatif lengkap. Tempurung kepala relatif utuh. Bentuk dahi lebih terlihat. Cekungan mata dan hidung juga masih tersisa. Lebih istimewa, ada tinggalan gigi yang masih menempel di tempatnya. Sungguh, inilah penemuan spektakuler tiada duanya di dunia!

Tiba di Sangiran

Sesaat setelah peluit melengking, tepat pukul 20.15, kereta eksekutif Argo Lawu  mulai melaju dari Stasiun Gambir.  Rencananya 8 jam, 30 menit akan sampai di Stasiun Solobalapan, kota Solo. Saya duduk di kursi nomor 12A,  gerbong 5.  Sengaja saya pilih karena deretan kursinya tidak terisi penuh seperti yang saya lihat di denah penumpang pada saat saya pesan tiket via online.

Kalau pilih gerbong 1 sampai 4 biasanya berjubel. Seperti saat saya berangkat ke Jakarta naik Kereta Argo Anggrek di gerbong 2, kursi 12A. Dari Pasar Turi Surabaya sampai Gambir gerbong penuh. Akibatnya, kaki hanya bisa selonjor ke bawah. Tidak bisa santai karena kursi sebelah ada yang punya. 

Nah, kali ini, kaki bisa methingkrang dan bergerak bebas kemana-mana karena kursi sebelah kosong melompong. Bantal pun dapat dobel. Tinggal selangkah ke belakang menuju toilet.  Kata orang sih, naik kereta paling nyaman itu di tengah (maka harga sub class tengah ini paling tinggi), karena jauh dari sambungan gerbong sehingga tidak berisik. Tapi bagi saya, nyaman itu jika  dekat  restoran dan toilet. Kalau ngantuk, akan membawa lelap. Sejenak  suara gemuruh kereta pun ikut luruh.

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

Singkat cerita, begitu urusan di Solo dan Klaten tuntas, sekitar pukul 11 siang saya estafet menuju Sangiran. Lokasinya sudah saya petakan tadi malam saat saya di duduk santai kereta api, sambil menikmati Nasi Goreng Parahyangan dan teh panas yang saya pesan dari crew Argo Lawu yang good looking.  Nggak bikin ngantuk.

Sebenarnya ada 4 titik lokasi klaster museum. Saya putuskan menuju yang paling terkenal yaitu, Museum Sangiran, Klaster Krikilan. Lainnya kapan-kapan saja, karena aksesnya lumayan susah karena jaraknya yang terpisah lebih dari 10 kilometeran..

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

(dok. pribadi)

Sangiran

Sangiran sebenarnya nama dukuh kembar di kaki Gunung Lawu. Terletak di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kedua dukuh Sangiran dibelah oleh Kali Cemoro yang mengalir menuju  ke Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa. Dukuh Sangiran  bagian utara masuk Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Sedang saudara kembarnya di selatan masuk Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar .

Di Museum Krikilan inilah saya mendapati fragmen-fragmen pra sejarah yang disusun secara lengkap, dengan replika-replika, banner-banner informasi colourfull, diorama-diorama dengan tata cahaya menarik serta sentuhan multimedia yang mampu memberi gambaran jelas bagi saya (dan pengunjung) tentang kehidupan manusia Jawa di masa lalu.

Informasi dan sajian di Museum ini begitu komplit. Tentunya tidak cukup hanya satu jam dua jam untuk menuntaskannya.  Karena waktu yang demikian terbatas, secara sporadis dan cepat saya memotret dan mencatat poin penting (menurut saya)  yang akan jadi bahan artikel di Kompasiana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline