Lihat ke Halaman Asli

Syarifah Lestari

TERVERIFIKASI

www.iluvtari.com

Menikmati Ratusan Naskah Siswa SD, Lucu-lucu Pilu

Diperbarui: 14 Desember 2019   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naskah cerita siswa SD. (Foto: dok. pribadi)

Alhamdulillah, sejak nyemplung ke dunia literasi tahun 2004, aku sering diminta beberapa lembaga untuk jadi juri lomba, terutama cerpen. Bukan karena akunya hebat, gak sama sekali. Ih, siapa juga yang mikir begitu!

Jadi, pekan lalu aku diamanahi 429 naskah anak-anak, yang ditulis siswa SD se-Provinsi Jambi. Setiap menjemput atau diantari naskah lomba, aku seperti menerima segepok duit. Bahagiaaa!

Bapak-bapak baperan langsung nyinyir. Tuh kan, standar bahagianya cewek; duit.

Aku seperti punya harapan ketika melihat naskah yang bertumpuk banyak, apalagi cerpen. Hari gini, masih banyak orang mau nulis cerpen! Walau kemudian (seperti biasa) rasa kecewa tak bisa dihindarkan. 

Sesuai etika lomba, panitia lebih dulu menyortir naskah yang tidak sesuai ketentuan untuk didiskualifikasi. Kemudian memastikan naskah bersih dari identitas siswa, baru akhirnya kumpulan cerita anak tersebut sampai ke tangan dewan juri.

Total juri untuk lomba kemarin ada 18 orang. Aku berada dalam tim menulis kreatif SD, bersama 4 orang lainnya yang baru kali itu bertemu sebagai juri. Mereka pastinya orang hebat, tapi aku belum tahu apa mereka juga sering menjadi juri di lembaga yang mengamanahi kami. Kalau ya, aku yakin meski tanpa mengetahui asal sekolah peserta, mereka bisa meraba, naskah siswa mana yang sedang dibaca ini.

Dan memang pada akhirnya, pemenang adalah sekolah yang langganan menang lomba menulis. Mau lomba tingkat SD, SMP, SMA. Ya itu-itu juga sekolah yang menang.

Lomba kali ini tidak dibatasi pada menulis cerpen. Anak-anak dibebaskan menulis apa saja yang menurut mereka menarik. Aku bahkan mengabaikan PUEBI dalam menikmati karya anak-anak itu. Ya iyalah, mau menulis saja sudah bagus. Yang penting tulisan mereka terbaca (tak harus cantik), ada alinea, bukan sambung menyambung satu halaman penuh.

Para pemenang lomba adalah mereka yang menuliskan pengalaman yang dekat dengannya. Yang kisahnya kanak-kanak. Imajinatif, tapi sesuai nalar anak. Dan lewat berbagai penilaian, biasanya kami tahu mana anak yang biasa membaca mana yang tidak. Tapi terlepas dari itu, sungguh membaca karya mereka seolah dapat hiburan gratis. Banyak yang lucu! Beberapa sempat kuabadikan.

Naskah cerita siswa SD. (Foto: dok. pribadi)

kami makan selamanya / dok. pribadi

menurut anak ini, banyak main membuat otak kita tercemar / dok.pri

sempat jadi favoritku, karena dia berani menggabung 3 versi asal-usul Surabaya jadi satu / dok. pribadi

ketika anak SD menulis lily/lili, aku yang su'uzhon berpikir mereka terpapar PUBG / dok. pribadi

aku harus melihat huruf di kata yang lain untuk menerjemahkan kata ini. kanen-kanen. / dok. pribadi

malaikat yang mengaku / dok. pribadi

Sayangnya, kali ini juri tidak berkesempatan bertemu para peserta. Tapi yang lebih utama bukan untuk melihat mana tampang pemenang. Juri paling ingin bisa mengulas karya anak-anak secara umum di hadapan para pembina mereka. Bukan karena merasa lebih tahu, tapi diskusi dua arah untuk saling menambah wawasan.

Paling tidak 4 poin ini yang ingin disampaikan kepada bapak/ibu guru yang membina anak-anak pada persiapan lomba. Atau dalam pelajaran sekolah sehari-hari yang terkait dengan menulis kreatif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline