Saya senang sekali mendengarkan video dari dua orang pakar tentang pendidikan , Najelaa Shihab dan pakar gizi, Dr. Tan Shot Yen memberikan pandangannya tentang "Hari Anak Nasional" dimana penekanannya lebih diutamakan kepada orangtua sebagai pendidik .
Kedua nara sumber setuju sekali untuk mengubah tema Hari Anak Nasional "GENIUS" yang berasal dari kata Gesit, Empati, Berani, Unggul dan Sehat dianggap terlalu berlebihan dan kurang tepat. Sebaiknya diganti yang lebih tepat dengan bahagia dan mandiri dan cerdas. Alasannya karena kriteria GENIUS itu belum memadai untuk anak-anak Indonesia.
BERMAIN YANG MENYENANGKAN
Dalam pemaparannya Ibu Najelaa Shihab, praktisi pendidkan, menjelaskan secara gamblang dan praktis . Orangtua sering salah kaprah mengganggap bahwa bermain itu dianggap tidak penting. Seolah bermain itu sebagai sesuatu yang membuang waktu saja. Justru para ahli pendidikan menekankan bahwa dengan bermain itu, akan melahirkan anak yang utuh baik kemampuannya, intelektualnya karena explorasi akan menambah pengalaman dan cara berpikirnya, bahkan pengalaman yang menyenangkan dalam bermain itu jadi suatu pengalaman hidup yang akan dibawanya kehidupan selanjutnya.
Bermain menyenangkan itu bukan sekedar membawa anak ke tempat bermain yang menyenangkan bagi si bocah. Bukan begitu, tetapi bermain yang membuat anak itu terdidik, membuat stimulasi untuk motoriknya maupun untuk pemikirannya. Perlu ada tantangan bagi anak untuk menyelesaikan. Contoh sederhana, berikan tugas dan tanggung jawab di rumah sesuai dengan usianya. Di sini orangtua mengajarkan kepada anak untuk ambil perannya di rumahnya.
Saat orangtua tidak ada di rumah, anak sudah mengetahui tanggung jawab dan rutinas yang ditetapkan oleh ibu atau bapaknya tanpa harus diawasi dengan sangat tegang.
EXPERIENCE LEARNING VS CONVENTIONAL
Dalam pemaparannya Dr. Tan Shot Yan, mengingatkan kepada semua orangtua bahwa jadi orangtua tidak berarti menggampangkan dan mengalir saja untuk kesehatan anaknya. Wah anak tidak mau makan, yach tinggal order saja pesanan online. Semuanya sekarang dipermudah.
Diingatkannya kondisi Indonesia yang tak pernah memperhatikan gizi pada tumbuh kembang anak ini membuat Indonesia menjadi negara stunting ke-lima di dunia dengan angka sebesar 37.2%, dimana batas standar normal yang diberikan oleh WHO , sebesar 20% saja. Betapa hal itu mengerikan jika anak-anak yang kerdil ini tidak tumbuh dengan normal, apa yang terjadi kondisi anak yang stunting ini di masa depannya.
Jadi apa yang harus dilakukan oleh orangtua agar hal di atas tidak terjadi. Literasi jadi andalannya . Seringkali orangtua hanya membaca tetapi tidak memahami apa artinya. Orangtua harus semakin jeli, "smart", mendengarkan sosialisasi yang dilakukan oleh semua pihak.
Para pakar seperti Dr. Tan tentunya sering menyuarakan tentang bagaimana gizi yang sehat bagi anak. Setelah mendengar sosialisasi bukan hanya untuk didengarkan saja tetapi harus dipraktekkan.