Lihat ke Halaman Asli

Eki Tirtana Zamzani

Pendidik yang mengisi waktu luang dengan menulis

Cerpen | Tangisan Obat bagi Kesedihan

Diperbarui: 28 Maret 2019   01:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hipwee.com

"Menangislah seperlunya, secukupnya tak perlu larut dalam duka" Dewi Aryanti, hipwee.com

Pertemuan kedua kali di kotamu ternyata menjadi pertemuan yang terakhir kali bagi kita. Kita pernah berandai-andai untuk bisa hidup bersama. Iya hanya engkau dan aku tanpa ada gangguan  suasana hiruk-pikuk keramaian kota. Tetapi hal itu ternyata hanya sebatas angan-angan yang tidak akan pernah terjadi di dunia nyata.

Sebagai lelaki, akulah yang memulai terlebih dahulu. Sekilas ada rasa penyesalan untuk menjalani kisah kita ini. Namun, apa daya semua ini sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Ibarat sebuah gelas kaca yang utuh kini pecah menjadi puing-puing pecahan kaca yang berceceran di lantai. Sehingga untuk mengumpulkan dan menyatukanya lagi terasa mustahil terjadi. Itulah gambaran suasana hatiku saat ini kepadamu.

Sebelum kejadian pada hari Minggu, ketika kamu berkata jujur tentang perasaanmu kepadaku. Tidak ada yang aneh dengan komunikasi kita. Kita juga saling bertanya kabar, "kesibukannya apa?" lalu basa-basi menanyakan, "Sudah makan apa belum?" layaknya pemuda dan pemudi yang lagi dimabuk asmara. Perhatianmu saat chatting  pun tidak luntur sedikitpun kepadaku.

Namun aku mulai merasakan ada keganjilan sikapmu kepadaku pada minggu-minggu ini. Iya, ketika kamu berpamitan untuk tidur terlebih dahulu yang tidak seperti  biasanya. Chatting yang biasanya panjang kini mulai sedikit hanya sepatah,  dua patah, atau tiga patah kata saja. Tetapi, aku tidak pernah berpikiran negatif kepadamu.

Saat kamu ingin mencurahkan semua isi hatimu kepadaku. Aku juga tidak sanggup untuk menolaknya. Ya, hanya meng-iya-kan apa yang ingin kamu sampaikan kepadaku. Lalu aku baca dengan seksama untuk bisa memahami perasaanmu.

"Aku sudah mencoba Mas, mencoba untuk membuka hati, tetapi maaf aku nggak bisa berbohong terkait rasa, aku sudah mencoba berfikir kembali beberapa kali tetapi tidak bisa. Akhir-akhir ini aku juga merasa menjauh bukan karena apa tetapi karena lelah. Mungkin disitu juga salah satu jawaban dari kegundahanku" tuturmu kepadaku.
 

"Maafkan aku ketika aku pernah berkata untuk menjalaninya bersama, maafkan aku ketika aku pernah memberikan harapan kepadamu, maafkan aku ketika perhatianku selama ini menyakitkan, aku berkata seperti ini agar tidak terlalu jauh lagi mas, cukup sampai disini perkataanku yang menyakitkan buat kamu, cukup sampai disini semua ini, aku berdoa semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dariku, mohon maaf jika malam ini aku kembali merusak suasana hatimu" tutur katamu kepadaku.

Iya, ada sedikit perasaan kecewa keadamu. Kenapa  baru sekarang kamu berkata jujur tentang perasaanmu kepadaku. Saat aku mulai menyukaimu. Kenapa tidak dari dulu saat aku diawal-awal pendekatan denganmu. Iya, hati ini tidak bisa dibohongi kalau aku masih belum bisa menerima apa yang kamu utarakan tadi kepadaku.

Namun, aku juga tidak sanggup untuk membuat orang lain bersedih diatas kebahagiaanku. Rasanya jika sikapku seperti itu maka aku menjadi manusia yang egois yakni mementingkan diriku sendiri tanpa memerhatikan perasaan orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline