Lihat ke Halaman Asli

Didik Prasetyo

Live - Love - Life

Tenggara, Kota yang Lupa Caranya Tumbuh

Diperbarui: 7 Agustus 2025   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tenggara | pixabay

Catatan Hari ke-1 oleh Pak Dhe

Aku sudah tinggal di kota ini lebih dari tiga tahun. Tapi anehnya, lubang di jalan depan rumahku masih sama. Ukurannya, bentuknya, bahkan genangan airnya seolah-olah dijaga agar tetap otentik.

Mungkin di kota ini, lubang jalan bukan kerusakan. Tapi penanda waktu.

Tenggara bukan kota kecil. Tapi juga bukan kota besar. Ia seperti anak tengah dalam keluarga-tak terlalu disayang, tapi terus dituntut mandiri.

Ingin maju, katanya. Tapi tak pernah jelas, ke mana arah kemajuan itu hendak dibawa. Pembangunan seperti upacara: ramai di awal, lupa esensinya di tengah jalan, lalu tiba-tiba ditutup dengan pidato syahdu dan selfie bersama spanduk yang kebesaran.

Sebagai orang tua yang sedang tirah-istilah halus untuk pulang-aku hanya menonton semuanya dari beranda. Dulu aku wartawan. Pernah keliling, wawancara menteri, nelayan, petani, hingga korban longsor. Pernah dianggap penting.

Tapi sekarang? Aku hanya penulis catatan harian yang kadang terlalu jujur.

Pagi tadi aku baca surat yang ditempel di tiang listrik dekat masjid. Tulisannya sederhana, tulus, dan getir:

"Saya Sutarti, pensiunan guru TK.
Sudah dua bulan air di rumah saya bau lumpur. Tapi tagihan tetap datang.
Katanya kita kota cerdas. Tapi yang kami lakukan cuma ngeluh di grup WA."

Aku tersenyum miris. Karena aku tahu, ibu itu pernah mengajar anak Camat. Dan kini, suaranya tenggelam seperti drainase yang mampet.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline