Lihat ke Halaman Asli

Akhlis Purnomo

TERVERIFIKASI

Copywriter, editor, guru yoga

Bahasa dan Kemampuan Bercerita, 2 Tantangan (Ter)Besar Pegiat NFT Indonesia untuk Maju

Diperbarui: 27 Mei 2022   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NFT| Sumber: cryptoadventure.org via Kompas.com

SETAHUN terakhir ini gaung Non-Fungible Token (NFT) makin tak terbendung saja. Di Jakarta, pembicaraan soal NFT ini sudah jamak bak bahan pembicaraan sehari-hari. 

Ini makin dikukuhkan dengan digelarnya event Urban Sneakers Society (USS) yang menjadi tempat bertemunya banyak pihak yang memiliki ketertarikan pada arena baru ini. Dari anak muda generasi Z dan Alpha sampai generasi Baby Boomers pun datang seolah ingin memahami lebih dalam tren global ini.

Saya sendiri mencoba masuk ke dalam dunia NFT dan sempat berbicara dengan seorang pegiat NFT. Ia mengatakan untuk bisa belajar soal NFT dan bisa berbisnis di dalamnya ya tidak ada trik khusus atau jalan pintas. Sama dengan berbisnis di dunia nyata, kita harus membuat jejaring, punya produk, bisa dipercaya, dan sebagainya. 

Ia mengatakan Twitter menjadi jejaring sosial yang paling sering dipakai para pegiat NFT dunia untuk berkerumun dan berdiskusi terutama dengan menggunakan fitur Space. 

Kemudian juga ada platform Discord yang menjadi pengganti WhatsApp dan Telegram yang menurut anak-anak muda ini lebih cocok untuk berjejaring karena Discord memungkinkan mereka melakukan banyak hal yang tak bisa dilakukan via WhatsApp dan Telegram yang sudah banyak dipakai orang tua mereka yang Baby Boomers.

Tapi salah satu pernyataannya yang paling menarik bagi saya adalah kendala bahasa. Language barrier menjadi salah satu kendala utama, katanya. 

Saya paham begitu saya memasuki banyak ruang mengobrol di Twitter Space. Di sini para artists yang memproduksi NFT artworks tak cuma dari Indonesia. Kebanyakan dari Barat (Amerika Utara dan Eropa), sebagian lainnya dari Asia dan Australia.

Tentu mereka bercakap dengan bahasa pergaulan dunia (lingua franca), bahasa Inggris. Di sini sepiawai apapun seorang NFT artist dari Indonesia kalau tak bisa berkomunikasi secara pasif (memahami isi diskusi) dan aktif (berbicara) dengan lancar dalam bahasa Inggris, akan sangat sulit untuk menonjolkan karyanya.

Dari pengamatan saya di Twitter Space ini, tiap ruang obrolan biasanya dipandu oleh sejumlah tuan rumah (hosts) yang biasanya memiliki hubungan dalam bentuk komunitas seniman, lingkaran pertemanan, atau bisa juga komunitas kolektor NFT. Mereka ini biasanya sosok yang dihormati dan vokal di lingkaran mereka, dianggap berpengalaman dan punya misi besar dalam benak mereka.

Seorang peserta di Twitter Space bertema NFT ini biasanya diberi kesempatan memperkenalkan diri dan menceritakan karya-karya yang sedang dikerjakan atau mau dijual ke kolektor. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline