Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

pegiat literasi

Sepotong Cerita Ibu Ainun

Diperbarui: 29 Januari 2021   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://hot.detik.com/art/d-4703244/potret-habibie-dan-ainun-yang-kembali-muda-di-ilustrasi-komik-faktapBisa jadi narasi ini muncul karena latah belaka. Setelah kepergian "Mr.Crack", aku terbawa latah romantisme "sejarah". 

Tahun 2000, aku volunteer Orbit dan Inkubasi bisnis ICMI Orwil Aceh, di sebuah kantor sederhana di gedung tua Bapperis di lingkungan pendopo kantor gubernuran Aceh. 

Bersama seorang teman, aku terpilih menghadiri sebuah pertemuan Orbit nasional yang dipusatkan di Pesantren Babunajjah, Jakarta Selatan. Aku ingat diantara finalis itu termasuk Bang Apridar, yang di kemudian hari menjadi rektor di Universitas Malikulsaleh, Lhokseumawe. Setelah melalui perjalanan panjang Aceh-Jakarta selama tiga hari empat malam, singkatnya kami sampai di ruang sekretariat panitia masih dengan baju lusuh, dan rambut awut-awutan, karena harus berjibaku tidur jungkir balik di bus trans sumatera. Perjalanan melelahkan melintasi tujuh propinsi, dan panjangnya Bukit Barisan, menyeberang Selat Sunda via Bakahuni.

Tak disangka diruang itu, tak lama, masuk Ibu Ainun Habibie dan bertemu kami yang sedang tak karuan penampilannya. Dengan nada sedikit "marah" ala emak-emak, Ini, darimana kok telat sampai?, memangnya panitia nggak kasih tahu kapan acaranya mulai?. Kata Bu Ainun menegur kami yang masih sibuk dengan ransel dan barang bawaan memenuhi ruang sempit itu, tak menyisakan sedikitpun kegantengan. Padahal di ruang sebelah Pak habibie sedang bersiap membuka acara.

Dari Aceh Bu, kataku, baru sampai...kami kan harus naik bus tiga hari tiga malam bu, kataku sambil menyalami beliau. Tiga hari tiga malam?, terus tidurnya gimana? tanya Bu Ainun hampir tak habis pikir. Ya, jungkir balik di kursi bus, bu,  kataku berusaha santai. Tak disangka ujung mata bu Ainun basah hampir meneteskan air mata. Ya sudah, makan dulu, mandi dan terus masuk ruangan, barang-barang di titip di sini sebelum dipindah ke kamar. "Dengar..", kata bu Ainun kemudian, "kalian tidak boleh pulang naik bus lagi, ibu belikan tiket pesawat untuk pulang". 

Mana bad namanya, kata bu Ainun ketika kami mulai menyantap nasi kotak pemberian panitia. Meski kami tak tahu apa maksudnya kami menyerahkan saja bad nama. Lantas beliau menuliskan nomor telepon dan sebuah pesan, "ditunggu Ibu dan Bapak di rumah",Ibu Ainun memberi paraf di ujungnya.

Berbekal bad nama, kami mengunjungi rumah Pak Habibie di Jakarta Selatan dan begitu kami menunjukkan tanda pengenal, dengan sigap satpam mempersilahkan kami masuk, sudah ditunggu di dalam, dan bertemu dengan Ibu dan Bapak. Tak banyak basa-basi yang kami bisa lakukan karena kikuk dan rasa tak percaya. Sayang sekali saat itu gadget belum populer, jika saja, pastilah kami akan membuat beberapa foto, setidaknya kami punya bukti bahwa kami telah menjejak rumah bersejarah, bertemu dengan Ibu dan Pak Habibie sang bapak presiden yang bersahaja.

Tapi maaf Bu, Pak, kami tak pernah menggunakan tiket itu, kami terlanjur janji dengan teman-teman se-sumatera menumpang bus pulang bersama. Kami berusaha menyimpan bad nama itu, sebagai tanda, pengingat, kepedulian dan tanda kasih Ibu dan bapak untuk kami. Sayang bad nama itu akhirnya juga hilang di telah tsunami 26 desember 2004, lima belas tahun silam, karena rumah kamipun terdampak tsunami.

Terima kasih untuk sepotong kisah hidup yang pasti tak terlupakan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline