Lihat ke Halaman Asli

Wuri Handoko

TERVERIFIKASI

Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeologi, Tafsir Kebudayaan dan Keindonesiaan

Diperbarui: 2 September 2020   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawasan Megalitik, Lembah Besoa, Lore Lindu. Sumber: Dokpri

Bicara arkeologi sebenarnya bukan melulu soal artefak. Bukan hanya tentang budaya materi, tapi banyak ide-ide besar tentang kebudayaan dalam ranah Keindonesiaan. 

Arkeologi tidak hanya menerjemahkan tentang benda budaya, lalu menerangkannya dalam sudut pandang ilmu arkeologi saja. Sebenarnya menurut saya, arkeologi bukan hanya soal remeh temeh bicara benda yang dibuat manusia masa lampau, yang terendap lalu ditemukan oleh arkeolog dalam kacamata proses buat, pakai dan buang. 

Namun sisi-sisi transformasi dalam ketiga proses itu, banyak makna tersimpan, yang menjadi soal untuk diungkapkan.  Kemudian arkeolog menerjemahkannya dalam sudut pandangnya, melalui serangkaian teori dan metode. Arkeologi, adalah juga soal membangun Keindonesiaan, melalui domain kebudayaan material. 

Bagi orang awam, mendengar arkeologi identik dengan barang-barang kuno, bahkan diantaranya dengan cara berpikir yang gegabah dan serampangan, menganggap arkeologi itu identik dengan tulang dan fosil. 

Cara berpikir demikian, sesungguhnya cara pandang orang yang tidak berpikir, atau tidak mau berpikir bagaimana memahami arkeologi. Tapi cara pandang itu tidak bisa disalahkan begitu saja. 

Itu adalah tugas dan tantangan para peneliti, para arkeolog untuk mengabarkan kepada semua yang tak jelas berkata tentang arkeologi, tentang budaya materi. 

Hal-hal besar dari arkeologi, sebenarnya ada di depan mata. Tapi harus diakui, banyak pula arkeolog yang gagal menerjemahkan, gagal 'membunyikan'  bahkan lebih celaka lagi, gagal memahami wujud kebudayaan meteri itu dalam kerangka kebudayaan yang lebih besar. Sesungguhnya, kegagalan itu sebenarnya, adalah kegagalan dalam membangun kerangka pemikirannya sendiri. 

Betapa tidak, harus diakui banyak arkeologi hanya sibuk dengan dunianya sendiri, sibuk dengan pekerjaannya sendiri, sibuk dengan cara pandangnya sendiri, sibuk dengan dirinya sendiri. 

Seolah-olah bicara arkeologi hanya urusan dialog antara arkeolog atau orangnya di masa kini dengan benda yang ditemukannya atau budaya materi dari masa lampaunya. 

Benar, ketika arkeolog menemukan benda, ia akan 'memaksa' benda itu untuk bicara. Namun semestinya bukan hanya bicara dengan diri sang arkeolog sendiri. 

Tapi yang lebih penting adalah, bagaimana benda kuno atau benda arkeologi itu juga 'dipaksa' untuk bicara kepada dunia, tentang jati dirinya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline