Lihat ke Halaman Asli

Wiwin Zein

TERVERIFIKASI

Wisdom Lover

Pemilu adalah "Pesta Demokrasi", Berarti Rakyat Harus Happy

Diperbarui: 8 Agustus 2022   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi surat suara calon anggota legislatif (Sumber: kompas.id)

"Pesta demokrasi" merupakan sebuah jargon yang diciptakan oleh penguasa Orde Baru, yakni The Smiling General Soeharto. Jargon "pesta demokrasi" mulai digunakan di Pemilu (Pemilihan Umum) 1982.

Jargon "pesta demokrasi" sampai saat ini masih digunakan dalam tiap gelaran pemilu yang diselenggarakan lima tahun sekali. Hal itu untuk menegaskan bahwa pemilu adalah benar-benar pesta rakyat dan kepentingan rakyat.

Selain itu  jargon "pesta demokrasi" juga untuk menunjukkan bahwa pemilu merupakan momen yang seharusnya menggembirakan dan penuh keriangan. Artinya dalam pemilu rakyat harus merasa senang, riang, dan gembira.

Akan tetapi faktanya tidak sepenuhnya seperti itu. Pihak yang sesungguhnya berkepentingan dengan pemilu sebagai "pesta demokrasi" bukanlah rakyat, tetapi para elite yang ada di atas.

Para elite di sini mungkin petinggi partai politik, para pejabat, para pengusaha, atau pihak lain yang memang sangat berkepentingan dengan pemilu. Dalam pemilu rakyat tidak menjadi subjek pemilu, tapi malah jadi objek pemilu.

Rakyat hanya dijadikan vote getter. Rakyat hanya dijadikan objek untuk mendulang atau mendapatkan suara.

Kalau pemilu adalah "pesta demokrasi", maka rakyat harus benar-benar merasa happy, merasa riang dan gembira. Bukan sebaliknya.

Oleh karena itu aturan pemilu tidak boleh dibikin sulit atau rumit. Pemilu harus dibuat sesederhana mungkin. Supaya rakyat happy.

Seperti mengenai banyaknya jumlah partai politik dalam pemilu. Hal itu sesungguhnya membuat kesusahan dan "penderitaan" tersendiri bagi rakyat pemilih. Belum lagi rakyat pemilih harus memilih para calon anggota legislatif yang jumlahnya mencapai ratusan orang, yang terpampang dalam satu lembar surat suara.

Bayangkan rakyat pemilih yang usianya sudah udzur atau sudah kurang penglihatan misalnya. Mereka harus memilih banyak partai politik dan banyak calon anggota legislatif di bilik suara. Mereka pasti puyeng dan "tersiksa".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline