Oleh Wisnu Wisaksono, Pemerhati Penempatan PMI
Kelahiran UU no 11/2020 tentang Cipta Kerja beberapa bulan lalu (November 2020) sempat menimbulkan angin segar bagi para Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), meski tidak berlangsung lama. Harapan serupa juga terjadi di kalangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) , setelah menghadapi masa penghentian penempatan PMI oleh Kepmenaker 151/2020. Tetapi selang beberapa waktu kemudian, nampaknya persoalan rumit , khususnya di bagian Bisnis Proses, pada Usaha Penempatan PMI, masih belum juga tersentuh,, apalagi terselesaikan, oleh UU no 11/2020 tersebut.
Masalah Perijinan
Memang benar, UU 11/2020 sangat membantu menyelesaikan masalah/polemik perijinan. Sebelum lahirnya UU 11/2020 tersebut, sempat terjadi polemik . Yakni mengenai persoalan, apakah UU no 18/2017 yang memuat beberapa persyaratan baru, yang berbeda dengan persyaratan sebelumnya, bagi badan usaha untuk menjadi P3MI - sebelumnya dikenal sebagai PPTKIS (Pelaksana Penempatan TKI Swasta) - dapat menghentikan, di tengah jalan, perijinan berusaha yang sudah ada sebelum lahirnya UU tersebut, walaupun ijin nya masih berlaku sampai kurun waktu tertentu sesudah lahirnya UU 18/2017? Bahkan sempat terjadi beberapa pihak memohon Uji Materi UU 18/2017 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) . Ada juga yang memohon Uji Materi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap sebuah aturan turunan UU 18/2017 , yakni Permenaker 10/2019 .
Dan ada beberapa PPTKIS yang belum menyesuaikan dengan persyaratan baru, karena menilai belum jatuh tempo untuk melakukan perpanjangan/penyesuaian ijinnya, kemudian dicabut Perijinan Berusahanya oleh Kemenaker, lalu para PPTKIS tersbut menggugat Keputusan Menaker melalui Peradilan Tata Usaha Negara ( PTUN) . Para PPTKIS tersebut menilai Keputusan Menaker mencabut Perijinan Berusahanya sebagai hal yang janggal, dan berlawanan dengan asas Non Retroaktif. Dengan hadirnya UU no 11/2020 Cipta Kerja, khususnya melalui pasal 184 , terjawab sudah , bahwa Perijinan Berusaha atau Ijin Sektor yang sudah terbit, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perijinan Berusaha.
Proses Bisnis : Mata Rantai Yang Hilang
Namun, kehadiran UU 11/2020 Cipta Kerja, tetap tidak membantu memecahkan masalah mata rantai proses bisnis yang hilang dalam usaha penempatan PMI, yang muncul setelah lahirnya UU 18/2017 sekitar 3 tahun lalu.
Dalam UU sebelumnya, yakni UU no 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN), keseluruhan proses bisnis penempatan PMI, mulai dari Pencarian peluang kerja/ Job Order, Perekrutan, Pelatihan dan Sertifikasi, Pemberangkatan, dan Layanan Administrasi dapat berjalan baik dan relatif berada dalam rentang kendali PPTKIS. Setelah lahirnya UU 18/2017, terjadi perubahan drastis, dimana kewenangan perekrutan dan pelatihan berada di tangan Pemerintah ( Pusat, Propinsi, Kabupaten-Kota, bahkan Desa). Dalam aturan turunan UU 18/2017, yakni Permenaker 09/2019, diatur bahwa kegiatan sosialisasi dilakukan oleh Layanan Terpadu Satu Atap ( LTSA)/Disnaker, melibatkan pemerintah desa, dilakukan secara daring ataupun luring.
Sosialisasi pun dapat dilakukan oleh Kemnaker dan BP2MI melalui Pameran/Job fair. Dengan filosofi bahwa CPMI adalah subyek, bukan obyek penempatan, Permenaker 9/2019 mengatur bahwa sesudah CPMI mendapatkan sosialisasi, maka pendaftaran dilakukan oleh CPMI sendiri , di LTSA/Disnaker (bukannya di kantor P3MI), untuk kemudian diuruskan pelatihannya oleh oleh Pemerintah , baik pada LPK Pemerintah, ataupun LPK Swasta terakreditasi, secara gratis bagi CPMI. Sesungguhnya, konsep awal dari pengurangan peran P3MI adalah mulia, untuk menghindari praktek rekrutmen dan pelatihan yang terkadang kesannya dilaksanakan secara sembrono, serta praktek pembebanan biaya berlebih/over charging, yang dilakukan oleh sebagian oknum P3MI. Namun hingga 3 tahun lebih setelah lahirnya UU 18/2017, fungsi rekrutmen dan pelatihan , sebagaimana yang diamanatkan UU tersebut, masih belum dapat dijalankan oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah, hingga Desa).
Sesungguhnya , praktek lapangan yang terjadi selama 3 tahun ini adalah bahwa P3MI masih menjalankan prosedur seperti yang diamanatkan UU 39/2004, dengan sedikit modifikasi di sana-sini.
Demikian pula, masih terdapat beberapa aturan turunan , yang diamanatkan UU 18/2017 harus diselesaikan dalam 2 tahun setelah berlakunya UU tersebut, , ternyata masih belum terselesaikan. Bahkan untuk lebih jelas lagi melihat situasinya di lapangan, ada beberapa kabupaten, yang secara jujur menyatakan ketidaksiapannya dalam menyelenggarakan dan membiayai pelatihan PMI sebagaimana amanat UU 18/2017 pasal 41 ..Jadi nampak bahwa UU 11/2020 memberi dampak kemudahan perijinan berusaha bagi P3MI, namun tidak/belum memberi dampak apapun terhadap perbaikan proses bisnis bagi P3MI, serta tidak/belum memberi perbaikan pelayanan terhadap CPMI.