Lihat ke Halaman Asli

Winbert Hutahaean

Diplomat Indonesia di New Caledonia

Menaikkan Pajak Impor Film = Melanggengkan Oligopoli Bioskop

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dunia film impor saat ini dikuasai oleh 6 studio besar yang dikenal sebagai Big-6, terdiri dari Walt Disney, Sony, Paramount, 20th Century, Universal dan Warner Bros. Di luar Big-6 ada beberapa studio lainnya seperti: MGM, DreamWorks (milik Steven Spielberg), Summit, Lions Gate, Weinstein, dll. Namun diakui bahwa Big-6 menghasilkan banyak film box office.

Di Indonesia ke-6 studio ini menjalin kontrak dengan PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa yang masih dalam jaringan Cinema21. Karenanya, saat pemerintah tegas menetapkan pajak royalty film impor, kelompok inilah yang paling keras menolak.

Apakah penetapan pajak royalty ini akan merugikan mereka? Pada dasarnya tidak, karena royalty lebih mirip bagi hasil antara studio dengan pemerintah, di mana jika penghasilan besar maka pemerintah mendapatkan bagian besar, sebaliknya jika film gagal, maka kecil juga bagian pemerintah.

Dapat diduga keberatan tersebut karena akan memangkas oligopli yang telah mereka nikmati. Terlihat dari tuntutan agar sebaiknya pemerintah membatalkan sistem royalty dan beralih meniru Thailand di mana bea masuk impor film yang diperbesar.

Jika sebelumnya Pemerintah berkeras menerapkan sistem royalty dalam menentukan pajak yang harus dibayar distributor, namun belakangan ini tersiar kabar bahwa sistem royalty disingkarkan dan akan mengikuti pendekatan Thailand, yakni dengan menaikkan bea masuk 100%:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/06/13/13570290/Pajak.Impor.Film.Naik.100.Persen

Walau ini nampaknya “kemenangan” di sisi pemerintah, namun ada hal lain yang tidak disadari bahwa pilihan kenaikan bea masuk akan menghambat masuknya film di luar kelompok Big-6, menghantam bioksop di luar jaringan 21 dan pada akhirnya membawa lonceng kematian bagi film Indonesia serta akan juga berimbas kepada para pengemar film keluaran Big-6 karena distributor akan membatasi jumlah film yang beredar di Indonesia.

Mari kita lihat skenario yang akan terjadi beserta phase-phasenya.

Saat ini bea impor film 35mm adalah $0.43/meter. Seandainya bea masuk dinaikkan 100% maka dana yang dibutuhkan setelah ditambah PPN, PPh, biaya subtitle, cetak copy, ongkos kirim udara, biaya operasional, dll. untuk 1 judul dengan 1 copy film adalah sekitar Rp 200-500 juta. Untuk kelompok Big-6 yang mayoritas Box Office angka tersebut tidaklah suatu masalah, tetapi bagi importir film lainnya harus berpikir panjang terlebih dahulu.


  • Phase pertama, film-film alternatif seperti film Eropa, Asia, Australia akan susah masuk ke Indonesia, karena harus memiiliki dana yang besar di muka, padahal film alternatif jarang menyedot penoton. Pada phase ini korban adalah para penggemar film alternatif.
  • Phase kedua, importir film non Big-6 akan sangat selektif karena memperhitungkan balik modal dari bea masuk yang tinggi tersebut karena tidak ada jaminan filmnya akan diserbu penonton. Pada phase ini para penggemar film non Big-6 menjadi korban, sehingga, belum tentu dapat menikmati semua film Steven Spielberg.
  • Phase ketiga, adalah sesuatu yang tidak disadari oleh para penggemar film Big-6, karena importir film pun tidak akan memasukkan semua film, mengingat memasukan banyak film berarti semakin besar bea yg dibayar, padahal daya beli masyarakat bertumbuh lambat. Katakanlah di bulan Juni-Juli, studio Big-6 mengeluarkan 20 film sementara rata-rata seseorang menonton 2 kali/bulan, maka tidak ada gunanya memasukkan ke-20 film ini. Akibatnya, film semacam Thor atau Fast5 yang dianggap terlalu segmented akan disingkarkan dan lebih memilih Harry Potter dan Pirate of Carribean dapat dinikmati dari anak-anak hingga dewasa.
  • Phase keempat adalah di mana situasi kembali ke jaman orde baru, yang akibat phase pertama dan kedua, maka bioskop-bioskop non jaringan 21 akan kesusahan mendapat pasokan film selain dari Big-6, dan kemudia mati secara pelahan akibat harga tiketnya lebih mahal, sementara mayoritas penonton mencari tiket yang lebih murah.
  • Phase kelima adalah phase di mana dampak oligopli tersebut akhirnya berimbas kepada film-film Indonesia karena sangat bergantung pada jaringan bioskop. Sementara jaringan bioskop akan selalu menghitung untung-rugi jika memutar sebuah film lokal, mengingat biaya operasional pemutaran film sama tingginya antara memutar film lokal dan impor. Akhirnya bioskop hanya akan memutar film yang dijamin laku, sementara para pembuat film Indonesia pun tidak dapat mencari bioksop lain akibat kematian di phase keempat. Dalam phase ini, korban adalah para penggemar film Indonesia, di mana “film laku” akan selalu berkonotasi dengan film komersial yang belum tentu berarti film yang memiliki nilai,


Dari kelima phase di atas, nampak bahwa penetapan bea masuk impor yang tinggi justru akan mematikan banyak pihak dan dunia perbioskopan Indonesia kembali ke titik saat Orde baru di mana hanya ada monopoli jaringan bioskop dan oligopoli distribusi film yang akhirnya menyetir selera penonton.

Oleh karena itu, penulis memandang bahwa penetapan pajak royalty adalah yang paling adil buat semua pihak, karena tarif memasukan film rendah tetapi kepada mereka yang memperoleh pemasukan besar maka membayar royalty kepada pemerintah yang juga besar.

Sementara bagi film-film alternatif atau di luar Big-6 dapat mencoba peruntungannya tanpa harus takut mengeluarkan modal awal besar. Jika ternyata filmnya sukses maka mereka juga bayar royalty yg besar kepada pemerintah. Tetapi jika gagal, mereka hanya membayar bea masuk sebesar $0.43/meter tersebut ditambah royalty yg tidak besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline