Lihat ke Halaman Asli

Willy Sitompul

Pekerja sosial

Cerpen│Persaingan

Diperbarui: 14 Oktober 2018   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: arstechnica.com

Namaku Harrison. Bukan. Aku bukan orang Barat. Orang Indonesia asli. Bapak Jawa, ibu Nias. Jadilah nama itu yang dipilih. Tidak ada nama kedua ataupun nama marga. Namun, karena tuntutan jaman dan situasi maka nama ayahku pun ditambahkan ke namaku. Supaya mudah dalam pengurusan paspor dan tidak perlu menjawab panjang saat ditanya imigrasi. Jadilah namaku Harrison Suyono.

Akhir-akhir ini hidupku mendadak tak teratur. Aku sedang berkompetisi dengan rekan kerjaku untuk menduduki posisi penting di perusahaan dimana aku bekerja sekarang. Kami berdua diberi target dan siapa yang menang, dia yang akan menduduki posisi penting itu. Aku berusaha mengalahkan rekan kerjaku itu dari berbagai sisi. 

Penjualan, belanja, capaian investor, jumlah promosi, jumlah akuisisi, dan lain sebagainya. Banyak sudah yang kukorbankan. Waktu, tenaga, dan kadang uang pun habis karena harus mentraktir anak buah agar mau bekerja di luar jam kerja. Jam tidur semakin sedikit. Entah sudah berapa ratus gelas kopi kuminum selama seminggu ini.

Berhasilkah? Tampaknya memang berhasil. Aku menang sedikit. Tapi rasanya tak sebanding dengan usahaku. Pak Ridwan lawanku itu tampaknya tak butuh usaha sebanyak diriku untuk pencapaian dan kinerjanya. 

Memang sih, aku masih terdepan tapi selisihnya sedikit sekali. Aku sangat khawatir kalau-kalau nanti Pak Ridwan akan melewati segala capaianku dan pada akhirnya dia lah yang mendapatkan promosi itu. Kepala cabang Surabaya. Jabatan prestis. Pimpinan kota besar. Dengan segala fasilitas hebat yang menyertainya. Mobil, rumah, dan mungkin saja seorang sekretaris cantik ha..ha..ha..

Aku harus mencari cara agar jabatan itu jatuh ke tanganku! Tapi bagaimana? Semua cara sudah kutempuh dan Pak Ridwan yang jelas lebih tua dariku itu tetap santai. Dia masih sering tertawa, bersenda-gurau. Seperti tak ada beban. Seperti tak ada persaingan.

Malam itu aku duduk termenung di salah satu caf. Ingin pulang, namun sebagian pikiranku masih ada di kantor. Memikirkan target apa lagi yang harus kucapai. Selagi termenung, aku menangkap sosok yang familiar lewat di depanku. Tunggu dulu! Ya, itu Pak Ridwan. Tapi, hei... siapa perempuan cantik yang menemaninya itu. Perempuan itu tampak menawan, tak sebanding dengan Pak Ridwan yang sudah terlihat menua. Mungkinkah itu anaknya?

Sesaat kemudian tak sengaja pandanganku beradu dengan Pak Ridwan. Dia tampak terkejut dan kaget. Hei... pikirku... jangan-jangan... Ah sudahlah tak baik berprasangka buruk.

Aku biarkan mereka menghabiskan waktu berdua. Tak ingin rasanya mengganggu. Pak Ridwan pun tampak tidak ingin memperkenalkanku pada perempuan itu. Sesekali dia berbicara dengan perempuan itu, pandangannya sesekali pula melihat ke arahku. Mungkin dia tak nyaman aku ada di sini, pikirku. Mungkin takut ketahuan kalau dia seling... ah tak mau aku berprasangka.

Cukup lama waktunya sampai kulihat mereka akan pergi. Dari tingkah laku keduanya, aku semakin yakin itu bukan anak Pak Ridwan. Mereka sangat mesra sekali. Pak Ridwan tampak menggandeng perempuan itu meninggalkan meja. Sesaat kemudian mereka sudah melintas di depanku. Perempuan itu tersenyum saat melewatiku. Manis sekali senyumnya. Pak Ridwan tampak menyuruhnya jalan terlebih dahulu.

"Hai Harry..." sapa Pak Ridwan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline