Lihat ke Halaman Asli

Senja Ungu

Diperbarui: 25 Juni 2015   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku menatap perempuan itu. matanya bengkak dan tatapannya kosong. Dia tidak bisu namun tidak juga bersuara. Sudah hampir separuh hari dia diam mematung. Hanya kedipan, gerakan yang ia lakukan. Hampir separuh waktu juga aku berusaha menyelami pikirannya, namun aku tak mampu. Mungkin dia tidak berfikir. Mungkin pikirannya kosong.

Kereta ke delapan berhenti di depan kami. Aku pikir dia akan bergerak, membawaku masuk kereta. Namun dia masih mematung. Memandang lurus ke depan. Kosong.

Hari semakin meninggi. Aku masih setia duduk di sampingnya. Menghitung sudah berapa kereta yang kami lewati. Sudah berapa banyak orang yang melewati kami juga berapa kali perutku berteriak ingin disumpal dengan makanan.

Ketika senja sudah tampak, bersinar lembut pada gerbong kereta selanjutnya, perempuan itu bangkit dari kursi. Jilbab merahnya yang panjang melambai anggun di punggung.

“Ini kereta kita,” katanya tanpa melihatku.

Dia bergegas memasuki kereta. Aku mengekor di belakangnya.

Seperti biasa saat kami selalu menaiki kereta bertiga, ia mengambil tempat tepat di tengah. Menyimpan barangnya dengan hati-hati kemudian menikmati empuknya kereta express yang nyaman. Aku duduk di sampingnya. Mengikuti pandangannya yang jauh jatuh pada senja.

“Ibu,” suaraku bergetar.

Dia tidak melihatku. Tatapan matanya tetap pada senja.

“Kapan kita pulang?”

Jantungku berdebar menunggu jawaban dari bibirnya yang kering.

“Nanti jika senja tidak lagi Jingga, namun berganti ungu anggur yang anggun.”

Aku menatapnya lebih lekat lagi. ia masih memandang senja. Bibirnya bergerak pelan. Dalam hati aku menebak, mungkin ia tengah membaca manteraagar senja tidak lagi berwarna senja namun ungu anggur yang anggun. Tetapi, keraguanku menepis, mungkin sebaliknya itu mantera untuk mempermanenkan senja yang jingga.

Aku membuka tas ranselku kemudian mengeluarkan kotak crayonku. Kuambil warna ungu anggur yang masih utuh. Dengan cepat aku menggoresnya di kaca jendela kereta. Perempuan itu kaget namun tidak menghentikan tanganku sampai akhirnya crayon unguku habis.

“Ibu, Senja sudah menjadi ungu. Ayo kita pulang. Ayah dan Cierra pasti sangat merindukan kita di rumah.”

Perempuan itu memelukku erat sekali. Dia menangis. Air matanya membasahi pundakku. Tidak ada kata-kata yang aku tunggu keluar dari bibirnya. Hanya isakan tangis yang tak bisa ditahannya.

Sementara itu, kereta yang kami tumpangi bergerak perlahan dan akhirnya semakin kencang. Sudah terlambatkan untuk kembali ke rumah? Sama seperti senja ungu yang mungkin tidak akan pernah ada.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline