Lihat ke Halaman Asli

Asmara Hadi Pejuang yang Terlupakan

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Asmara Hadi Pejuang Yang Terlupakan

Generasi muda sekarang tentunya banyak yang tidak mengenal tokoh politik dan sastrawan Asmara Hadi, karena dijaman Orde Baru namanya sengaja di tenggelamkan karena Beliau dianggap orang yang dekat dengan Soekarno. Padahal sejarah tidaklah dapat di simpangkan apalagi menyangkut sejarah berdirinya Negara Republik ini. Nama Asmara Hadi masih abadi dan tercatat dalam banyak buku-buku sejarah walau sebagian orang berusaha untuk melupakanya. Nama Asmara Hadi hingga kini masih tercatat dalam sejarah di Gedoeng Juang 45, dia bersama adiknya AM Hanafi (salah seorang pendiri laskar rakyat) adalah orang-orang yang ikut “mengarsiteki” berdirinya negara Republik Indonesia.

Asmara Hadi adalah nama pena. Nama aslinya Abdul Hadi. Selain Asmara Hadi, juga ada Ipih atau H.R. singkatan dari Hadi dan Ratna, Hadi adalah namanya sendiri, sedang Ratna adalah nama seseorang yang kelak menjadi isterinya. Asmara Hadi lahir di Bengkulu ,disebuah desa kecil bernama ulu Talo pada tanggal 8 September 1914. Meninggal pada 3 September 1976 di Bandung. Tahun 1929, melanjutkan sekolah di Jakarta, di sana tinggal bersama mahasiswa-mahasiswa  yang turut aktif dalam pergerakan kebangsaan. Kemudian pindah ke Bandung, sekolah menengah di MULO, Taman Siswa. Ia kemudian masuk partai politik dan menjadi seorang kader yang digembleng Bung Karno.

Tatkala Bung Karno pada tahun 1932 menerbitkan Fikiran Rakjat, Asmara Hadi adalah seorang tangan kananya.  Dan dari tangannyalah sajak-sajak yang dimuat majalah tersebut. Konsekuensi dari tokoh pergerakan pada waktu itu adalah pembuangan dan penjara. Tahun 1934 - 1935, Asmara Hadi ikut dibuang ke Ende bersama Bung Karno. Tahun 1937 kembali merasai dinginya hotel prodeo, demikian juga tahun 1938 dan tahun 1939, bersama Amir Sjarifuddin. Tatkala pecah perang Pasifik tahun 1941, kembali ia ditangkap dan menjadi tawanan. Bersama pemimpin-pemimpin pergerakan lain, ia berpindah-pindah penjara mulai dari Sukabumi, Garut, Jakarta, dan kembali ke Sukabumi lagi. Inilah yang kemudian melahirkan buku Dibelakang Kawat Berduri. Penyunting buku menulis begini: “Dibelakang Kawat Berduriterbitan Pemandangan, Djakarta 2602 (1942). Buku ini merupakan buku catatan selama pengarangnya (Asmara Hadi) ditawan pemerintah Belanda, ketika Perang Pasifik pecah. Peristiwanya dimulai tanggal 8 Desember 1941, yaitu saat pecahnya Perang Pasifik hingga tanggal 15 Maret tatkala pengarang dapat bebas dari Nusakambangan. Dalam buku tersebut digambarkan antara lain bagaimana pengarang dibawa P.I.D pengeledahan di rumahnya, keadaan didalam tahanan, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya serta peristiwa-peristiwa yang lain selama ditawan itu. Kisah-kisah  didalamnya diselingi pula dengan puisi.”

Asmara Hadi pernah menjadi pemimpin majalah Pelopor Gerindo (1937-1938), pemimpin redaksi majalah Tudjuan Rakjat (1938-1941), dan pengelola tetap majalah Pudjangga Baru. (hr)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline