Lihat ke Halaman Asli

Widi Kurniawan

TERVERIFIKASI

Pegawai

Tanpa WhatsApp? Uang Bisa Melayang, Keluarga Bisa Ngomel

Diperbarui: 14 Januari 2021   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: unsplash.com/Rachit Tank

Aplikasi perpesanan WhatsApp sedang digoyang. Gara-gara meluncurkan kebijakan privasi yang dianggap tidak melindungi data pengguna, banyak pengguna WhatsApp meradang dan mulai mencari alternatif lain.

Saya sendiri memilih bersikap santai alias santuy. Begitu muncul notifikasi kebijakan privasi yang baru, tak butuh waktu lama buat saya untuk klik setuju. Ya, apa boleh buat, untuk saat ini hidup saya masih terikat dengan WhatsApp.

Terikat dalam arti sejauh ini saya masih menuai manfaat dengan adanya WhatsApp. Tak bisa tiba-tiba saya emosional dan melakukan uninstall aplikasi tersebut. Lalu bagaimana dengan koneksi saya yang sudah terlanjur terbangun dengan WhatsApp?

Bisa-bisa tak ada lagi pesan WhatsApp yang berisi ajakan kerja sama untuk menulis artikel dengan honor lumayan. Nah, yang begini kan bikin rugi beneran. WhatsApp terlanjur jadi media mendatangkan rejeki.

Jadi kalau kolega saya yang biasa menawarkan proyek khusus masih pakai WhatsApp dan saya sudah hengkang dari WhatsApp, tentu berakibat pada potensi keuntungan yang melayang.

Sepanjang tidak ada gerakan massal dan global untuk migrasi ke aplikasi tertentu, seperti Telegram misalnya, WhatsApp sepertinya masih susah untuk ditinggalkan orang.

Dulu orang-orang berbondong-bondong beralih dari BBM ke WhatsApp seiring dengan mencuatnya smartphone berbasis Android meninggalkan Blackberry yang mulai ketinggalan jaman. BBM gagal karena gagap dan telat menggarap BBM for Android. Sementara ada pemahaman awam bahwa kalau sudah pakai smartphone Android maka aplikasi pesannya pakai WhatsApp.

Kini, momen kebijakan privasi WhatsApp rasanya belum mampu membuat semua orang berpaling. Sudah terlanjur enak sih. Contoh termudah adalah saat orang tua kita masih kekeuh memakai WhatsApp, apa iya kita sebagai anak yang berbakti justru menyuruh orang tua kita untuk ganti aplikasi?

Bagaimana dengan nasib grup mereka seperti komunitas senam sehat, grup burung berkicau, grup tanaman hias, grup alumni, grup emak arisan, grup bapak-bapak RT, grup keluarga besar dan lain-lain?

Oalah, lha wong gara-gara saya nggak pernah komen atau muncul di grup keluarga besar saja sudah kena tegur kok. Terus apa kabar kalau misalnya saya hapus aplikasi WhatsApp itu? Bisa-bisa diomeli panjang lebar.

Urusan privasi mah belakangan aja. Soal privasi diumbar kan sudah biasa. Buktinya masih banyak orang update status urusan pribadi, pamer perasaan, pamer tiket pesawat, pamer isi rumah, pamer piknik dan lain-lain.  Bagi sebagian orang, privasi kalau dirasa keren justru jadi bahan konten atau dipamerkan di status.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline