Lihat ke Halaman Asli

Bambang Wibiono

Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Selamat Jalan, Mamah (6)

Diperbarui: 25 Juni 2020   14:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bergegas ku pesan travel hari itu juga karena kalau harus menggunakan bus atau kereta akan memakan waktu lebih lama. Jadwal angkutan umum seperti bus dan kereta hanya ada menjelang magrib dan malam hari. Dengan sisa uang bulanan dan sedikit tabungan, segera ku pesan travel keberangkatan tercepat saat itu. Kurang lebih 4 jam perjalanan, akhirnya sampai lagi di Kota Udang.

Sampai di rumah, terlihat Mamah berbaring di kamar dengan wajah pucat. Sangat berbeda dengan kondisi seminggu lalu saat ku tinggalkan kembali ke perantauan. Waktu itu mukanya cerah, bahkan sudah bisa beraktivitas, jalan-jalan dan aktivitas ringan lainnya. Entah apa yang membuatnya begitu cepat memburuk kondisinya.

Sore itu jadwal Mamah berobat ke tabib alternatif. Tidak seperti biasanya, kali ini Mamah sangat kesulitan untuk dibonceng motor. Ada guncangan terlalu keras, Mamah akan meringis. Saat pulang dari Tabib, Papah menceritakan, katanya ada yang aneh dengan luka bekas operasinya. Tabib menyarankan untuk diperiksakan lagi ke dokter, bahkan bila perlu dirontegen. Menurutnya, beberapa pasien yang terapi alternatif di tempatnya dengan kasus yang sama, tidak ada yang seperti ini. Beberapa teman yang pernah mengalami operasi pun menceritakan, biasanya luka bekas operasi yang sudah dua bulan  tidak begitu.

Kulihat luka bekas operasian Mamah terlihat kering. Namun yang agak aneh, lukanya berwarna hitam dan saat ku sentuh terasa keras sekali. Kemungkinan terjadi infeksi dalam. Jadi terlihat tampak luar biasa saja, namun bagian dalam mengalami infeksi. Inilah yang membuat Mamah sering kesakitan akhir-akhir ini. Semakin hari, kondisi Mamah kian memprihatinkan. Bahkan, makin lama hanya bisa di tempat tidur saja. Untuk buang air saja kesulitan, harus dipapah dan dipegangi saat di kamar mandi.

"Wib, Mamah mau kencing. Bantuin Mamah jalan". Jarak dari rumah ke WC yang cukup jauh, sekitar 50 meter, membuat perjalanan serasa semakin panjang dan melelahkan.

"Mamah ngantuk banget, mau tidur Wib" ucap Mamah lirih.

"Ya sudah tidur aja Mah," jawabku.

"Tapi sakit dadanya kalau tiduran, nafasnya juga jadi sesak".

"Tidurnya diganjal bantal agak tinggi aja coba ya" kataku sambil menata beberapa bantal pada sandaran dipan untuk mengganjal punggung dan kepalanya. Jadilah tidur posisi setengah berbaring.

Hari-hari berikutnya, Mamah tak bisa beranjak dari tempat tidur. Untuk keperluan buang air kecil maupun besar, terpaksa menggunakan pispot. Semua aku yang melayani, mengurusnya mulai dari menyuapi makan, minum obat, sampai urusan membersihkannya. Karena kebetulan cuma aku anak terbesarnya. Adik pertamaku sengaja tidak disuruh pulang. Biarlah fokus pada kuliahnya dulu. Adik kedua, perempuan. Tentu tidak sanggup kalau harus bopong-bopong Mamah. Adikku yang lain masih kecil-kecil. Terkadang gantian dengan Papah kalau kebetulan sudah pulang kerja.

Seketika terbayang saat aku masih bayi. Selama bertahun-tahun, seperti inilah Mamah melayaniku sebagai anaknya. Muntah, kencing, buang air besar tak kenal tempat. Dan Mamah selalu melayaninya tanpa pernah mengeluh. Bahkan sampai 6 anaknya lahir, merawatnya dengan cermat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline