Lihat ke Halaman Asli

Bambang Wibiono

Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Selamat Jalan Mamah

Diperbarui: 22 Juni 2020   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prolog

Pagi yang cerah hari itu, 5 Juni 2011. Aku bangun pagi untuk menikmati hari mingguku di rumah. Maklum anak perantauan, jarang sekali pulang ke rumah. Sekitar 3 bulan sekali aku bisa pulang, bahkan kadang sampai setengah tahun tak pulang. Macam Bang Toyib yang tak pulang-pulang.

Sebagai mahasiswa veteran alias sesepuh yang nyaris tak ada mata kuliah yang diambil, setelah Ujian Tengah Semester (UTS) bisa dimanfaatkan untuk meliburkan diri. Semester ini aku hanya mengambil satu mata kuliah saja, itu pun hanya mengulang karena nilai sebelumnya dirasa belum maksimal. Tentu saja sisanya adalah skripsi yang belum rampung juga aku garap sejak semester sebelumnya. Pusing!

Jadwal UTS sekitar 2 minggu. Kebetulan jadwal tes mata kuliah yang aku ambil ada di hari kedua. Jadi setelah selesai, sisa waktunya bisa ku gunakan untuk mudik sebelum akhirnya kembali ke kampus, 2 minggu kemudian.

Liburan kali ini mau aku manfaatkan untuk bersantai-santai sejenak melupakan teori-teori kuliah, organisasi-organisasi di kampus dan juga urusan skripsi. Stop! Singkirkan dulu pokoknya.

Sengaja aku mandi pagi-pagi sekali. Selepas subuh langsung bergegas menyambar ember kecil peralatan mandi dan berjalan ke kamar mandi siswa. Lho?? Yap! kebetulan Papahku kerja di salah satu sekolah negeri. Walau hanya pegawai rendahan, alhamdulillah diperkenankan menempati rumah dinas ala kadarnya yang ada di komplek sekolahan, walaupun untuk kamar mandi harus rela berbarengan dengan WC siswa yang jaraknya sekitar 50 meter. Lumayan daripada harus ngontrak, penghasilan Papahku mana cukup. Belum lagi harus membiayai aku dan satu adikku yang sedang kuliah. Ditambah masih ada 4 adikku lagi yang masih sekolah di bangku SMA, SMP, dan SD.

Yup! Aku hidup 6 bersaudara dengan aku sebagai anak pertama. Mamahku tak diijinkan bekerja, hanya ngurus rumah dan anak-anak yang bejibun sampai setengah lusin.  Sebenernya sangat tidak rasional dalam hitungan matematika, ayahku yang bekerja hanya sebagai pegawai rendahan dengan gaji kisaran 1,5 juta, mampu menyekolahkan 2 anaknya kuliah, ditambah sisanya masih mengenyam bangku sekolah. Tapi itulah matematika rejeki. Tidak ada yang mampu menghitungnya dan memprediksinya. Hanya bermodal nekat dan cita-cita agar anaknya tidak seperti orang tuanya yang hanya tamatan SD dan SMA, maka kuliah adalah suatu "keharusan" bagi kami, anak-anaknya. Urusan nanti bagaimana biayanya, itu urusan lain. Urusan belakangan. Begitu ucap Papah setiap kali memotivasi anaknya untuk terus sekolah tinggi.

"Mamah disini masak apa adanya, Wib. Cukup makan dengan terasi goreng atau garam juga sering. Adik-adikmu juga doyan tuh", begitu ujar mamah beberapa waktu lalu yang membuat aku serasa menjadi anak durhaka.

Bayangkan, aku disini kuliah bisa makan nasi rames sedangkan kedua orang tuaku dan adik-adikku yang lain di rumah harus rela makan hanya dengan terasi, dengan garam atau seadanya makanan? Oh Gusti Dewata Agung jangan kutuk hamba jadi batu.
----
"Tumben Wib, pagi-pagi udah mau mandi", ucap Mamah saat melihatku bergegas ke kamar mandi.

"Mau jalan-jalan Mah, nyari udara kota yang seger. Bosen di desa melulu" jawabku sambil nyengir.

Selesai mandi, kubangunkan adikku yang paling kecil, Purnomo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline