Lihat ke Halaman Asli

Hujan (Kota Para Hantu)

Diperbarui: 12 Juli 2018   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nona Senja - WordPress.com

Aku tidak berharap melihatnya. Tetapi aku tetap saja kasihan padanya. Dia, perempuan itu, cukup tua berdiri bersama para penumpang di bagian belakang. Kerut di wajahnya cukup jelas, membentuk garis-garis di sekitar pipi, sekitar bibir serta di dahinya. Dan rambut putihnya tidak mungkin tak terlihat, bahkan ketika meliriknya saja, hampir sewarna dengan bajunya yang putih. Rambutnya berpotong pendek, mengembang ke samping yang tampak putih, menyisakan sedikit saja warna yang semula hitam. Semakin jelas dan membuatku segan dan kecut untuk melihatnya adalah wajah yang benar-benar pucat dan pandangan mata yang lemah dan kosong. Benar-benar kosong. Tak ada senyum. Bahkan ketika ia menoleh padaku pun tetap dengan mata yang kosong. Seolah ia menyimpan, memendam penderitaan yang ingin dilupakan tapi tetap saja terbawa di pandangannya itu. Sehingga, mau tak mau, aku berpura-pura tak melihatnya. Aku kasihan padanya, tetapi juga tak ingin melihatnya. Apalagi hujan, yang santai saja tanpa bosan dan juga merata mengguyur kota, membuatku semakin merasakan dingin dan semakin kecut. Aku tak bisa membayangkan apa yang pernah terjadi padanya, tak ingin mengalaminya. Bahkan aku berharap jangan ada lagi orang lain mengalaminya.

 Sepertinya perempuan itu, dengan tatapan mata yang dingin dan kosong, juga melihat perempuan lain yang aku lihat dari kejauhan. Perempuan itu masih muda, meskipun sedikit lebih tua dari umur kakakku, berbaju kantoran, dengan warna terang, sepertinya baru pulang dari kantornya. Dengan memegang payung dan satu tangan lagi bersedekap di dada, ia berjalan menembus hujan yang masih lumayan deras. Tampaknya ia bergegas ingin segera pulang, meskipun tampak pula ia menahan dingin malam. Ia diam saja ketika berpapasan dengan orang-orang, yang naik motor, yang berjalan berpayung menembus hujan seperti dia. Ia seperti tak peduli dengan mereka yang berpapasan dengannya, meskipun memang tak banyak orang lewat. Maklum malam sedang hujan, dan malah sudah menjelang larut.

Beruntung ia sudah menuju rumah di saat waktu sudah malam begini dengan cuaca yang sedemikian mengganggu. Ya, memang mengganggu. Berjam-berjam aku menembus hujan, dan hujan selalu saja membawa kemacetan. Meskipun sudah ada pemisah jalur, tetap saja terkena imbas. Aneh menurutku, hujan sebentar membuat air bisa menggenang, dan selanjutnya macet. Lolos dari macet di sini, akan mendapat macet di perempatan selanjutnya. Lolos dari perempatan yang satu akan segera bertemu di perempatan selanjutnya. Ya, itulah yang aku pikir aneh. Kata berita sudah sangat berkurang. Tetapi aku mengalaminya sendiri, menghadapi hujan berarti juga menghadapi genangan di jalan raya, dan kemacetan yang parah tak ketulungan. Sehingga mengakibatkan mundur terlalu malam, bahkan bus juga belum sampai di pul. Beruntung baginya, dan kasihan aku serta penumpang-penumpangku yang masih menuju pulang.

Perempuan itu bertemu dengan perempuan yang lain, yang jauh lebih muda darinya, lebih pendek badannya lebih kecil. Tampaknya mereka saling kenal. Setidaknya mereka terlihat saling menganggukkan kepala, berhenti sebentar, dan sepertinya juga saling mengucapkan beberapa patah kata. Perempuan yang disapanya tampak tergesa-gesa, berjalan lebih cepat darinya. Tampaknya ia harus keluar rumah untuk satu keperluan dan tentu harus pulang lagi. Jika aku mempunyai keperluan keluar rumah di saat malam hujan, memang harus memaksakan diri, mau tidak mau harus berjalan lebih cepat. Dari baju yang dipakainya, ia tampak menggunakan baju rumahan, bukan kantoran. Rupanya ia menuju salah satu toko, di pinggir jalan raya. Ia tampak mencari-cari, melihat-lihat barang yang berjajaran tertata di rak toko itu. Beberapa  kali ia tampak mengitari rak-rak itu, dengan langkah yang masih cepat. Ia terlihat sedikit kebingungan mencari barang yang dibutuhkannya. Dan tak lama kemudian ia mengantri di depan kasir.

Di depan toko, perempuan itu bertemu dengan perempuan yang lain lagi. Perempuan itu tampak sedang berteduh. Dengan gaya yang sama ketika ia bertemu dengan perempuan kantoran itu, mereka saling menyapa, tak banyak bicara apalagi bergosip ria, meskipun tetap dengan senyum di antara mereka. Pembicaraan mereka terasa senyap, sepi, sepertinya hanya mereka berdua yang ada di tempat itu, tak ada tawa, sepertinya basa-basi saja. Mungkin karena hari sudah malam, dan hujan pula. Perempuan itu pergi meninggalkannya di depan toko itu. Masih tetap dengan jalan yang bergegas ia kembali meneyusuri jalan yang tadi dilaluinya tadi. 

Setelah kepergiannya, tak berapa lama kemudian datanglah seorang laki-laki menghampiri perempuan di depan toko itu. Rupanya perempuan itu tadi sedang menunggu ojek online. Mereka lagi-lagi tampak saling senyum. Dan sembari mengamati layar gawai di tangan masing-masing, sebentar saja mereka saling berbicara. Perempuan itu buru-buu mengenakan jas hujan. Dan sebentar kemudian berjalanlah ojek itu cepat meninggalkan toko itu, berbelok menikung menuju jalan raya. Dengan berkelok-kelok, motor itu bermanuver mencari jalan. Tampak tenang saja mereka menembus kemacetan jalan.

Kemacetan di sini tidak terlalu parah. Senanglah  mereka berdua. Bapak ojek itu akan segera sampai mengantarkan perempuan itu sampai di tujuannya. Seandainya tujuannya rumah perempuan itu, berarti ia tak lagi hujan-hujanan kedinginan seperti aku. Memang aku bayangkan enak sekali kalau di malam seperti ini sudah di rumah, dan tak lagi peduli dengan macet apalagi hujan begini. Sementara aku masih berjalan merayap. Mungkin karena badan bis ini terlalu besar. Tetapi kasihan juga para penumpang yang masih harus melanjutkan perjalanannya ini. Meskipun sudah terlalu malam, masih banyak orang yang harus berjalan menuju rumahnya masing-masing.

Mereka terlihat sampai di jembatan menuju busway. Perempuan itu sekejap terlihat memperhatikan satu motor ojek online yang menyusul dari belakangnya, di dekat jembatan itu. Penumpang ojek itu membalas lambaian tangan dan senyum perempuan itu. Sebentar sekali, cepat saja mereka mengucap salam pertemanan, saling kenal di antara mereka. Dan masing-masing tetap meneruskan perjalanannya. Rupanya ojek yang menyusul tadi segera mengerem motornya, dan menurunkannya di jembatan busway itu. Lagi-lagi perempuan, dan dengan lincahnya ia turun dari motor dan bergegas melepas jas hujan dan helmnya. Sebentar kemudian ia berjalan naik menyusuri tangga busway. Ia menuju halte yang juga aku tuju. Perempuan yang kurang lebihnya seumur juga. Sepertinya memang di umur-umur itulah, para perempuan harus turun ke jalan, keluar rumah sibuk ikut mencari nafkah, bahkan sampai tak peduli hari sudah gelap dan ditambah dingin hujan juga.  Di jembatan busway masih terlihat orang-orang berjalan, meskipun tak seramai kalau hari masih siang. Semua berjalan seperti perempuan itu, cepat memburu waktunya sendiri-sendiri. Berbeda dengan para perempuan tadi yang saling sapa, mereka hanya berjalan saja cepat. Sepertinya tak ada yang saling kenal di antara mereka.

Penumpang yang aku antar juga lebih banyak diam. Beberapa penumpang terlihat memainkan jari di layar gawainya melawan risau menghadapi macet dan hujan ini. Ada pula yang tertidur, yang diam saja dengan mata melihat-lihat jalanan. Memang suasana yang ada di dalam bis ini juga senyap. Kota ini memang sangat sibuk, sehingga meskipun sudah malam, masih ada penumpang yang harus berdiri di dalam bis. Sungguh aneh bagiku, sementara ketika hujan seharian jalan sudah menjadi genangan air, hingga banyak kendaraan menahan lajunya, dan kemidian menjadi macet. Belum lagi kalau beberapa hari hujan berturut-turut seperti beberapa hari ini, bisa banjirlah yang menguasai pikiranku. Banjir gampang sekali datang, dan juga air mudah sekali menggenang. Ini yang aku pikir aneh, kalau di saat yang bersamaan, juga memikirkan orang-orang yang sedemikian sibuk sampai malam begini baru pulang. Belum lagi, besok pagi mereka juga harus berangkat lagi. Sampai di halte, sepertinya aku tak perlu berteriak menunjukkan posisi bis di halte mana. Namun begitu, memang harus aku teriakkan nama halte tempat bis telah tiba.  

Bapak sopir sepertinya tahu kalau aku banyak pikiran dan memperhatikan mereka, perempuan-perempuan yang tadi aku lihat, juga para penumpang ini. Sesekali aku lihat ia melirik kaca spion di atas kepalanya, dengan mata yang melirik ke arah bayanganku di dalam kaca. Aku tidak bisa melihatnya dari dalam kaca itu, tetapi aku yakin pandangan matanya ke arah bayanganku itu. Sudah menjadi kebiasaannya. Biasanya jika penumpang sudah sepi ia tak segan mengajakku mengobrol mengenai sikapku. Dan benar saja. Ketika aku meneriakkan nama halte pemberhentian bis, dan juga halte tujuan akhir nanti, bapak sopir melirik spionnya. Ia diam saja, tak bicara, bahkan tak peduli juga dengan teriakkanku. Tetapi entah mengapa, ia tetap saja melirikku, memberi perhatian.

Perempuan tadi juga naik dalam bisku. Ia duduk di tengah. Sekejap ia melihat perempuan tua itu. Dan dibalas dengan tatapan yang kosong dan dingin itu. Dan mereka saling senyum. Perempuan tua itu ternyata bisa tersenyum, meskipun kecil saja. Terlalu kecil senyumnya tampak sangat terpaksa, dan menambah jelas kerutan di sekitar bibirnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline