Lihat ke Halaman Asli

Yogi Setiawan

Aku adalah

Merinding di Museum Kebangkitan Nasional

Diperbarui: 4 September 2017   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Museum Kebangkitan Nasional, Tampak Depan (foto: Yogi Setiawan).

September telah datang, bahkan sekarang sudah menunjukkan tanggal 4. Katanya, September adalah bulan yang ceria. Entah kata siapa saya lupa. Meskpun Agustus telah pergi, namun kenangannya tetap berarti. Terutama saat saya dan kawan-kawan Clickers melakukan napak tilas ke 3 museum pada tanggal 13 Agustus 2017. Salah satunya adalah Museum Kebangkitan Nasional.

Stasiun Gondangdia menjadi titik awal perjalanan. Kami berkumpul sekitar pukul 10.00 WIB dan berjalan kaki menuju Museum Kebangkitan Nasional yang terletak di Jl. Abd. Rachman Saleh No 26. Kami berjalan melewati Tugu Tani dan Jalan Kwitang. Kurang lebih 20 menit waktu tempuh dari stasiun ke museum.

Clickers berjalan melewat Halte Kwitang (Foto: Yogi Setiawan).

Di Museum Kebangkitan Nasional saya seperti dibawa jauh ke periode dimana Indonesia belum merdeka. Diruangan pertama yang saya masuki berisi catatan masuknya bangsa Eropa pertama kali ke Indonesia. Portugis menjadi negara yang pertama kali tercatat memasuki wilayah Indonesia tahun 1512. Tepatnya di Maluku.

86 tahun kemudian, tepatnya April 1595, Belanda menyusul jejak Portugis ke Nusantara melalui jalur yang berbeda. Dibawah pimpinan Cornelis De Houtman, Belanda memasuki Indonesia lewat Pantai Barat Afrika- Tanjung Harapan- Samudra Hinda- Selat Sunda dan melabuhkan kapalnya di Banten pada Juni 1596. Melalui perjalanan awal inilah banyak kaum Belanda yang terdorong untuk datang ke Indonesia hingga bisa menjajah ratusan tahun lamanya.

Pendidikan Mengubah Nasib Bangsa

Salah satu cara mengubah nasib bangsa adalah melalui pendidikan. Pada zaman Kerajaan Hindu-Budha, dikenal istilah pendidikan dengan istilah Karysan. Kemudian masuk ke kerajaan Islam, pendidikan lebih dinamis. Ada pesantren yang menggunakan metode wetonan dan sorogan.

Kemudian ketika masuknya VOC ke nusantara, berkembanglah pendidikan formal yang awalnya dilakukan oleh lembaga keagamaan. Nilai-nilai agama Kristen Protestan dijadikan sebagai dasar pendidikan.

Hingga kemudian terbentuklah Sekolah Dasar untuk Anak Belanda dan Bangsawan dan Sekolah Dasar untuk Anak Pribumi. Tapi sayangnya pendidikan saat itu terutama sekolah untuk pribumi tujuan utamanya bukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, tetapi untuk mendapatkan pegawai dengan upah yang minim.

Mencoba merasakan belajar di STOVIA (Foto: Muthiah Alhasany).

Pada tahun 1902, berdirilah STOVIA. Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera yang awalnya merupakan Sekolah Dokter Jawa. Standar Sekolah ini memiliki kesamaan dengan sekolah tinggi di Belanda. Bagi yang mau masuk sekolah ini, diharuskan lulus Sekolah Dasar Eropa dan Ujian Berhitung. Butuh waktu 7-10 tahun untuk lulus dari STOVIA. Betapa perjuangan yang tidak sebentar untuk lulus sekolah tinggi.

Di STOVIA, belajar mulai pukul 7 pagi sampai 12.30. Setiap mata pelajaran memiliki waktu 50 menit. Setiap perpindahan mata pelajaran ada waktu 10 menit istirahat. Pada pukul 20.00-22.00, pelajar kembali memasuki kelas untuk belajar bersama di bawah bimbingan guru pendamping.

Saya dan patung Pak Wahidin Sudirohusodo (Foto: Muthiah Alhasany).

Pemuda Beregerak dan Bersatu
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline