Lihat ke Halaman Asli

Bernabas Ambon

Orang Biasa

Membudayakan Rasa dalam Mendidik Manusia Muda

Diperbarui: 13 Maret 2020   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: siedoo.com

Saya masih ingat persis kala berdiskusi hangat dengan seorang teman yang berprofesi sebagai seorang guru. Saya berkunjung ke rumahnya dan kemudian kami berdiskusi, mempersoalkan masalah ihwal kekerasan dalam dunia pendidikan. Ia memulai diskusi dengan mengetengahkan kasus kekerasan dari berita yang sedang viral, seorang murid memukul gurunya dan sebaliknya. 

Kekerasan dalam lingkup sekolah seolah menjadi siklus yang datang silih berganti, balas-membalas dan menjadi problem ini akan menjadi ingatan yang mengafirmasi bahwa dalam diri manusia Indonesia masih ada jejak gen yang mengakibatkan terjadi letargi kebudayaan (kelelahan dalam memahami kebudayaan).

Teman saya itu memulai kekesalannya dengan berucap, "kalau aku menghadapi murid kayak gini (memukul guru) tak kaploki duluan, urusan hukum belakangan. Kalau sekolah sampai menaikkan atau meluluskan bocah macam ini sekolahnya yang perlu dipertanyakan komitmen dalam mendidik." Menanggapi ucapannya, saya melontarkan satu pertanyaan, apakah dengan kaploki (memukuli) itu, bisa menyelesaikan masalah? 

Teman saya itu lantas merespon dengan cepat, "lho, aku jengkel, sebagai seorang guru, di depan kelas, saya dan guru-guru yang lain mengajar, mendidik demi mencerdaskan anak bangsa yang berbudi pekerti, tapi faktanya dia tidak menghormati gurunya. "Maka, karena dia tidak menghormati, ya tak kaploki wae," ujarnya. Saya diam sejenak dan merasakan bila kekerasan itu terjadi pada teman saya itu.

Kekerasan vs Welas Asih

Murid memukul gurunya, dan kemudian gurunya membalas pukulan tersebut dengan pukulan. Frase "pukulan dibalas pukulan" menjadi duduk perkara dari rantai kekerasan terutama bila situasi itu dirawat dalam kultur kekerasan, maka situasi yang terjadi adalah sekolah bukan tempat pengajaran, tetapi penghajaran. 

Dari sini kita bisa mengerti kritik tajam terhadap sekolah justru kehilangan karakternya, kehilangan jiwanya yaitu seperti yang diingatkan Nicholaus Driyarkara mendidik manusia-manusia muda dengan tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya. Frase tersebut juga, dalam arti yang ketat (in strict sense) menjadi sebentuk permanensi kultural bahwa ada kekerasan yang dibiasakan dan ditradisikan secara sengaja oleh antar subjek (yang mengajar dan yang diajar) di sekolah, hanya karena emosi dan bukan karena welas asih (sense).

Budaya ketimuran kita, dalam persoalan itu, sejenak terlempar keluar dari rasa kemanusiaan dan masuk pada rantai kekerasan. Situasi ini, bila tanpa dilandasi pendekatan welas asih, maka berakibat masuk dalam lubang kekerasan yang tak berujung. Welas asih ini sebenarnya merupakan bagian dari pendidikan karakter yang tidak boleh diabaikan begitu saja. 

Pedagogi yang sehat mensyaratkan adanya welas asih. Dengan welas asih tak mungkin terjadi kaploki-mengaploki karena ia mesti ada dalam pribadi-pribadi baik dalam diri yang mengajar maupun diri yang diajar. Welas asih, ringkasnya adalah pedagogi hati yang berniat membudayakan rasa dalam pendidikan.

Rasa Mendahului Ilmu 

Sebelum menjelaskan lebih jauh hal ihwal pedagogi hati, saya akan mengungkap duduk perkara di atas dengan serentak pula mengajukan dua pertanyaan mendasar, (1) mengapa kekerasan itu bisa membudaya?; (2) apa raison d'etre (alasan adanya) kekerasan yang dibudayakan? Istilah "budaya" yang disematkan dalam kekerasan berarti bahwa adanya upaya untuk melanggengkan kekerasan itu dengan pola kebiasaan dan mentradisikannya dalam pola balas membalas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline