KRITIK,Logika Kepemimpinan Dan Pembangunan
Di lereng-lereng berkabut Jayawijaya, di mana awan menggantung rendah seolah menyimak bisikan bumi, kepemimpinan bukan sekadar soal membangun jalan dan gedung. Ia adalah soal membangun kesadaran. Namun, sering kali logika berpikir dalam pemerintahan terjebak dalam ilusi: bahwa kritik adalah tanda kegagalan, bahwa suara-suara yang menggugat adalah ancaman terhadap stabilitas. Padahal, justru di sanalah pembangunan pertama sedang berlangsung---pembangunan jiwa masyarakat yang peduli.
Kritik bukanlah batu yang dilempar ke jendela kekuasaan. Ia adalah lentera yang dinyalakan oleh mereka yang masih percaya bahwa perubahan mungkin. Ketika masyarakat Jayawijaya bersuara, mereka tidak sedang merusak, mereka sedang merawat. Mereka sedang menunjukkan bahwa mereka melihat, berpikir, dan merasa. Dan itu, dalam logika kepemimpinan yang sehat, adalah berkah.
Pemimpin yang takut pada kritik sesungguhnya takut pada cermin. Ia enggan melihat bayangan dirinya dalam pantulan harapan rakyat. Padahal, kritik yang kontekstual dan relevan adalah bentuk dukungan paling mengakar. Ia tidak lahir dari kebencian, melainkan dari cinta yang menuntut tanggung jawab. Di birokrasi dan lembaga-lembaga pemerintahan, kesadaran ini harus menjadi fondasi. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi proyek fisik tanpa jiwa.
Di Papua Pegunungan, di mana sejarah dan luka berjalan berdampingan, kritik adalah tanda bahwa masyarakat mulai bangkit dari diam. Mereka tidak lagi hanya menerima, mereka mulai bertanya. Dan pertanyaan adalah awal dari peradaban. Maka, tugas pemimpin bukan memadamkan suara, tetapi mendengarkannya dengan hati terbuka.
Kepemimpinan sejati bukan tentang menghindari kritik, tetapi tentang tumbuh bersamanya. Seperti pohon yang kuat karena angin yang menantangnya, pemimpin yang bijak akan menjadikan kritik sebagai pupuk bagi kebijakan yang lebih adil dan manusiawi.
Jayawijaya tidak butuh pemimpin yang hanya membangun tembok. Ia butuh pemimpin yang membangun jembatan---antara kekuasaan dan rakyat, antara rencana dan kenyataan, antara diam dan suara. Dan suara itu, meski kadang tajam, adalah nyanyian pembangunan yang paling jujur.
Ketika Bukti Bicara: Menimbang Kritik dalam Bingkai Ilmu dan Hukum
Apakah mungkin sebuah masyarakat tumbuh tanpa suara yang menggugat? Jika kita menengok sejarah pembangunan di berbagai belahan dunia, termasuk di Jayawijaya, kita akan menemukan satu benang merah: masyarakat yang kritis adalah indikator awal dari peradaban yang bergerak. Penelitian oleh Amartya Sen, ekonom dan filsuf peraih Nobel, menunjukkan bahwa negara-negara dengan kebebasan berpendapat yang tinggi cenderung lebih mampu mencegah bencana kelaparan dan krisis sosial. Bukankah ini bukti bahwa kritik bukan penghalang, melainkan pelindung?
Lalu, mengapa sebagian pemimpin masih memandang kritik sebagai ancaman? Dalam teori komunikasi politik, Jurgen Habermas menekankan pentingnya "ruang publik" sebagai arena diskusi rasional antara warga dan penguasa. Tanpa ruang ini, kebijakan menjadi monolog, bukan dialog. Apakah birokrasi kita sudah cukup membuka ruang itu, atau justru menutupnya dengan tembok formalitas dan ketakutan?