Lihat ke Halaman Asli

Wadji

Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)

Ada "KAMI" di Antara Kau dan Aku

Diperbarui: 23 Agustus 2020   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi membawa pesan. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Inilah negeri di mana rakyat makin melarat/dan para wakilnya -- anggota dewan yang terhormat,/Malah minta tambahan anggaran:/untuk ganti mobil, atau biaya perjalanan,/untuk beli mesin cuci, atau ongkos naik haji./Duh Ibu ..../Jangan terus-terusan bertanya pada kami/Apa yang kami sumbangkan pada negeri/Tapi bertanyalah:/Apa sumbangan para pemimpin pada rakyat/yang telah memberi suara/dan memberikan mereka berkuasa?

Kutipan di atas adalah penggalan puisi karya Sirikt Syah yang berjudul "Kado untuk Rakyat". Puisi ini ditulis pada tahun 2003. Penyair yang dikenal sebagai jurnalis, dosen, dan aktivis kemanusiaan ini mengekspresikan kekecewaannya terhadap kepemimpinan negeri ini pada waktu itu. 

Reformasi 1998 ternyata tidak menghasilkan kepemimpinan negara yang diharapkan oleh rakyat. Pasca reformasi tidak banyak yang diperoleh oleh rakyat, terutama dari sisi kesejahteraan.

Memang, langit kelam itu akhirnya berubah warna menjadi cerah-ceria di tahun 1998. Peringatan Proklamasi Kemerdekaan R.I. kala itu dirasakan tidak hanya peringatan akan bebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan asing, tetapi untuk kali pertama, setelah 32 tahun bangsa Indonesia menghirup udara kebebasan, dari belenggu penjajahan bangsa sendiri.

Jatuhnya pemerintahan Orde baru tidaklah terjadi secara tiba-tiba. Ada proses panjang yang mendahuinya. Sejak awal kekuasaannya, penguasa Orde Baru tak luput dari kritik. 

Dengan gaya pemerintahannya yang otoriter, Orde Baru telah berhasil memertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun. Orde Baru  berhasil menggandeng semua elemen bangsa, mulai dari militer, profesional, pemuka agama, seniman, dan organisasi masa sebagai benteng pertahanan kepemimpinannya. Mereka yang tidak mendukung kepemimpinannya ada resiko yang harus dibayar.

RRI dan TVRI adalah media elektronik corong pemerintah. TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi di Indonesia kala itu selalu menyajikan berita-berita keberhasilan pemerintah. Pemerintah dan para pejabatnya adalah simbol-simbol dengan citra tak bernoda. 

Segala macam "borok" penguasa ditutupi rapat-rapat. Sekalipun berita-berita alternatif bisa didapatkan dari media cetak yang diterbitkan oleh masyarakat, namun demikian itu pun di bawah kontrol ketat dari pemerintah. Tidak sedikit koran dan majalah yang mengalami pembredelan di era Orde Baru, karena memuat berita atau artikel yang tidak selaras dengan kebijakan pemerintah.

Pemilu yang berjalan dari waktu ke waktu adalah kegiatan seremonial "pertarungan semu" yang sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. Pemilu kala itu hanyalah ajang formalitas, sebagai bentuk demokrasi abal-abal. Ada tiga partai peserta pemilu, namun dua di antaranya tidak lebih hanya diperankan sebagai sekadar sparring partner belaka.

Berpuluh tahun rakyat dicekam dalam ketakutan. Mereka yang bersuara keras kerapkali dicap sebagai antek komunis, separatis, melakukan tindakan destruktif, penghambat pembangunan, anti Pancasila dan segala thethek-bengek istilah yang dianggap ampuh untuk menakut-nakuti rakyat. Sejumlah aktivis pro-demokrasi ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara, dan beberapa di antaranya hilang tanpa jejak yang jelas hingga hari ini.

Ketika Orde Baru jatuh, banyak orang tampil sebagai pahlawan-pahlawan baru, padahal sebagian di antara mereka pada eranya mungkin adalah para penikmat dan pendukung kerakusan penguasa, dan bahkan mereka adalah yang sangat anti demokrasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline